WLB | 16

4.3K 427 2
                                    

"Non? Ya ampun, Non

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Non? Ya ampun, Non. Kenapa di sini? Bangun, Non."

Bree mengerjapkan matanya perlahan. Saat ia berhasil membuka matanya sempurna, seorang ibu-ibu sedang berlutut di dekatnya, menatapnya khawatir.

"Non nggak papa?" tanya ibu itu lagi.

Bree mengernyit, lalu mengangguk. "Saya nggak papa, Bu. Ibu siapa, ya?"

"Saya Bu Yanti, Non. Ibu dan keluarga Ibu yang merawat kompleks makam ini. Non kenapa bisa disini?"

"Maaf, Bu, saya ketiduran semalam," kata Bree.

Bu Yanti tersenyum, lalu mengangguk. "Non sudah makan? Ayo ke rumah Ibu. Ibu baru saja masak. Non makan dulu."

"Nggak usah Bu, ngerepotin," kata Bree.

"Ibu maksa. Wajah Non pucet banget, loh. Non harus makan."

Beberapa kali Bu Yanti harus memaksa Bree, akhirnya gadis itu mau menuruti keinginan penjaga makam. Ia berjalan mengikuti Bu Yanti ke sebuah rumah sederhana di ujung makam. Rumah itu tidak mewah, namun tidak buruk juga. Definisi rumah sederhana yang nyaman untuk ditinggali.

"Ibu ada masak kangkung dan telur dadar. Nggak papa kan, Non?"

Bree mengangguk. Sudah lama sekali ia tak makan makanan seperti itu. Terakhir, saat Rossa masih ada. Kalau Nindia tak mungkin menyediakan makanan seperti itu.

Bree menerima sepiring nasi dengan kangkung dan telur dadar yang diberikan Bu Yanti. Ia mengucapkan terima kasih, lalu melahap makanannya.

"Non ada masalah, ya?" tanya Bu Yanti yang sudah duduk di sebelah Bree. Bree mengangguk samar. "Ibu kok tau?"

"Non bukan yang pertama tidur di makam kayak tadi," katanya. Ia menuangkan teh hangat ke gelas kaca, lalu menyodorkannya pada Bree. "Ada beberapa orang yang melakukan itu juga. Sekitar dua bulan lalu, ada bapak-bapak yang mabuk, terus tidur di samping makam istrinya. Dia teriak-teriak, Non. Ibu sama Bapak nggak berani deket-deket. Ada lagi perempuan yang seumuran Non, waktu itu ketiduran di samping makam bayinya yang meninggal."

Bree prihatin mendengar ucapan Bu Yanti. Rupanya banyak orang yang mengalami hal serupa.

Tak lama, seorang laki-laki paruh baya datang, dengan membawa gunting rumput. Sepertinya ia baru saja merapikan rumput-rumput liar yang tumbuh di area makam.

"Loh, Bu? Ada tamu, toh," katanya, tersenyum ramah. Bree tersenyum canggung. "Saya Bree, Pak. Maaf merepotkan."

Laki-laki paruh baya itu menggeleng cepat. "Nggak ngerepotin, Non. Santai saja. Lanjutin makannya. Saya Pak Saiful, yang ngerawat kompleks makam ini."

Bree mengangguk. Setelah ia ingat-ingat, ia memang pernah beberapa kali melihat Pak Saiful sedang membersihkan makam saat Bree sedang mengunjungi makam mamanya.

"Bapak tinggal ke dalam dulu ya, Non. Oh iya, tadi kayaknya ada yang nyariin Non. Laki-laki, pakai seragam SMA. Dia nungguin di depan kompleks makam, Non. Tadi Bapak bilang suruh tunggu sebentar, Bapak periksa di rumah dulu. Ibu suka ngajak orang buat ke rumah, soalnya. Eh bener, Non ada disini."

Bree tersentak. Itu pasti Ray. Bree menyelesaikan makannya dengan cepat. Ia hendak membawa piring itu ke tempat pencucian, namun langsung dicegah Bu Yanti.

"Biar Ibu saja yang mencuci. Non temui cowok itu, mungkin benar dia nyari Non."

Bree awalnya merasa tak enak, namun akhirnya mengangguk. "Makasih banyak Bu, Pak, udah mau kasih saya makan. Saya permisi dulu."

Pak Saiful dan Bu Yanti mengangguk ramah. Bree berjalan keluar dari rumah, menuju gerbang makam. Benar saja, Ray sudah berada di sana, menunggunya.

Tanpa basa-basi, Ray langsung menarik Bree kedalam pelukannya. Erat, sangat erat. Seakan ia tak ingin Bree lari dan menghilang lagi dari jangkauannya.

"Lo nggak papa? Gue khawatir," gumam Ray. Suaranya terdengar parau.

"Gue nggak papa," jawab Bree. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya.

"Ayo, gue anter lo pulang," kata Ray. Bree langsung melepas pelukan Ray, lalu mundur dua langkah.

"Gue nggak mau pulang."

Ray menatap Bree dengan tatapan memohon. "Tapi-"

"Gue nggak mau pulang, Ray. Tolong jangan anter gue pulang," ucap Bree. Air mata sudah kembali menggenang di pelupuk matanya.

Ray akhirnya mengangguk. "Gue nggak akan anter lo pulang. Tapi lo ikut gue, ya?"

Bree ragu, takut ia akan dipulangkan. Melihat keraguan di wajah Bree, Ray kembali membuka suara.

"Gue janji nggak akan nganter lo pulang."

Akhirnya Bree setuju. Ia ikut masuk ke dalam mobil Ray. Beberapa menit kemudian, mobil hitam itu sudah kembali melenggang di jalanan padat kota.

WITH LOVE, BRIANNA. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang