WLB | 30

5.2K 408 12
                                    

Satu bulan setelahnya, semuanya masih sama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu bulan setelahnya, semuanya masih sama. Geraldi yang masih sering bepergian keluar kota, Nindia dan Valerie dengan sifat ularnya yang sepertinya sudah mendarah daging, Ray yang masih setia bersama Bree, dan Joan yang masih selalu jadi sandaran Bree kalau kalau gadis itu ada masalah.

Hanya saja, Bree merasa akhir-akhir ini kepalanya sering pusing atau sakit. Ia berusaha untuk tidak menghiraukannya, karena saat ini, ia sedang disibukkan dengan banyaknya tugas dan ulangan.

Bree masih selalu meminum obatnya setiap hari, namun ia masih tidak sempat pergi ke rumah sakit untuk check up.

"Bree? Hei."

Bree terbuyarkan dari lamunannya. Akhir-akhir ini, Bree juga lebih sering melamun. Entah apa yang ada dalam pikirannya, ia sendiri juga tidak yakin.

"Mikirin apa?"

Bree menggeleng mendengar pertanyaan Ray. Ia menyesap coklat panasnya, menatap jalanan kota dari jendela cafe.

Ray menghela nafas. "Kalo ada apa-apa, kamu bisa cerita ke aku. Aku siap dengerin. Okay?"

Bree menoleh, lalu mengangguk. Seulas senyuman terbit di wajah Bree.

Ray diam menatap Bree yang masih sibuk melihat jalanan itu. Ada yang salah dengan Bree. Ia seperti menyimpan sesuatu, yang tak bisa ia sampaikan.

"Habisin minuman kamu, setelah itu kita pergi. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat," ucap Ray akhirnya.

***

Bree turun dari mobil Ray, menatap hamparan pemandangan di hadapannya. Ia ingat betul tempat ini. Tempat yang sama, saat Ray memberikan kejutan di hari ulang tahun Bree.

Kejutan, yang tidak akan pernah Bree lupakan seumur hidupnya.

"Tumben ngajak kesini?" tanya Bree. Ray ikut berdiri di samping Bree, menikmati udara sejuk di dataran tinggi yang sekarang mereka pijak.

"Kamu ikutin aku."

Ray meletakkan kedua telapak tangannya di samping bibirnya, seolah akan berteriak. Bree mengamatinya dengan seksama.

"ZIO BRENGSEKKKKKKKKKKK! KURANG AJAR LO NGAMBILIN BEKAL GUE MULU WAKTU SD!!!!!!!!"

"PAPAAAAAA MAMAAAAAAAAA AYO PULANG!!!! RAY MAU MAKAN BARENG KAYAK DULU LAGI!!!!!!"

"TUHAAAAAAAANNNNN MAKASIH SUDAH KASIH GUE CEWEK CANTIK INI!!!!! MAKASIH JUGA UDAH DI JINAKIN!!!!"

Bree melongo mendengar Ray yang teriak begitu kencangnya. Saat ia tersadar dengan kalimat Ray yang terakhir, Bree menyikut perut Ray.

"Kamu pikir aku buaya dijinakin?!" gerutu Bree. "Kamu yang harusnya dijinakkin! Dasar buaya!"

"Mantan buaya," ucap Ray, sambil menekankan kata 'mantan'. "Aku udah tobat, kali."

Bree terkekeh.

"Sekarang giliran kamu."

Bree mengernyit. "Giliran apa?"

"Teriak," ujar Ray. "Keluarin semua yang mau kamu keluarin. Kata Tante, kamu nggak boleh nyimpen masalah kamu sendiri. Percaya sama aku. Kalo kamu teriak sekarang, di sini, sekenceng-kencengnya, kamu bakal lega, walaupun sedikit."

Bree menggeleng. "Nggak mau. Malu."

"Sama siapa? Nggak ada yang bakal denger kamu di sini."

"Sama kamu."

Ray tertawa. "Oke, aku tunggu di mobil. Ntar kalo udah selesai, aku turun lagi."

Bree mengangguk. Ray langsung berjalan menuju mobilnya, menatap Bree dari kejauhan. Setelah memastikan Ray masuk, Bree langsung berteriak sekencang yang ia bisa.

"NINDIA SAMA VALERIEEEEEEE ENYAH LI BERDUA DARI MUKA BUMIIII!!!! GUE ENEG BANGET NGELIAT KALIANNNNN!!!!! DASAR NENEK SIHIR LO BERDUAAAA!!!!"

"MAMAAAAAAA!!! BREEEE KANGEEEENNNNN!!! SERING-SERING MAMPIR KE MIMPI BREEE YAAAAA!!!"

"PAPAAAAAA!!!! TOLONG STOP TAMPAR BREEEEE!!! SAKIT TAUUUU!!! BREE SAYANG PAPAAAAA!!!!"

Tiba-tiba, lidah Bree kelu. Air matanya yang sudah menggenang di pelupuk mata entah sejak kapan, mulai menetes.

"TUHAAN! MAKASIH UDAH KASIH BANYAK ORANG BAIK BUAT BREEE!!! BREE MAU HIDUP DAN NGERASAIN APA ITU BAHAGIAAAA!!!"

Lama kelamaan, bahu Bree bergetar hebat. Ia menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Baru kali ini, ia bisa mengeluarkan semua yang ia rasakan dengan begitu puas.

Melihat Bree menangis, Ray langsung turun dari mobil, dan menarik Bree ke dalam dekapannya. Ia mengelus rambut Bree perlahan, tak mengatakan apapun.

Ia mendengar semua teriakkan Bree tadi. Ray membuka sedikit jendela mobilnya, sehingga apa yang Bree teriakkan, bisa terdengar jelas. Dalam hatinya, ia teriris. Bree terlalu banyak menerima rasa sakit selama ini.

Lima belas menit dalam posisi yang sama, Bree akhirnya menguraikan pelukannya. Tangisannya sudah mereda. Gadis itut menghapus sisa air matanya dengan punggung tangan.

"Makasih," ucap Bree parau. Ia memeluk Ray sekali lagi.

Ray mengangguk. "Kamu bakal sembuh, Bree. Kamu juga bakal bahagia. Aku yang bakal kasih kamu kebahagiaan itu."

Bree mendongak, menatap Ray tajam.

"Kamu nguping ya?!"

Ray menjawabnya dengan cengiran. Bree melotot, lalu memukul Ray dengan bertubi-tubi, membuat Ray beringsut mundur.

"Aww! Sakit, tau!"

"Biarin! Salah siapa nguping!" gerutu Bree.

Ray terkekeh. Ia menatap Bree lekat. Gadisnya terlihat lucu dengan mata sembab dan hidung yang memerah.

"Bree."

"Hmm?!"

"Apapun yang Mama dan Adik tiri kamu lakuin setelah ini, aku mau kamu janji sama aku."

"Janji apa?"

"Lawan," ucap Ray. "Lawan mereka, sampe kamu puas. Mereka nampar kamu? Tampar balik. Mereka menghina kamu? Hina balik."

"Tapi—"

"Percaya aja sama aku."

WITH LOVE, BRIANNA. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang