WLB | 21

4.4K 398 12
                                    

Bree menatap wajah Ray yang masih terlelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bree menatap wajah Ray yang masih terlelap. Ia mengusap rambut laki-laki itu pelan, berusaha untuk tak membangunkannya.

Pukul delapan pagi, Bree sudah beranjak dari rumahnya menuju rumah sakit. Menurut Bi Nur, Geraldi sudah berangkat keluar negeri sejak subuh. Sedangkan Nindia dan Valerie, mereka masih belum bangun tidur.

Bree malas bertemu dua perempuan itu, jadi ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit dan menjenguk Ray. Kemarin malam Zio memberitahu bahwa Ray sudah siuman. Ray terus memanggil nama Bree sepanjang malam.

Zio dan Virgo memutuskan untuk menemani Ray di rumah sakit. Hari ini adalah akhir pekan, jadi mereka libur sekolah. Sedangkan Daniel mengantarkan Joan pulang, lalu ia harus kembali kerumah, karena adiknya sendirian.

"Bree?"

Bree terkesiap saat mendengar Ray memanggilnya. Air mata seketika lolos dari pelupuk matanya. Ia tak kuat melihat Ray yang terbaring lemah di rumah sakit seperti ini. Apalagi, semua ini karena untuk melindungi dirinya.

"Maaf," ucap Bree. Ia memeluk Ray dengan hati-hati, berusaha untuk tidak menyentuh atau menekan luka-luka pada tubuh Ray. "Maaf udah buat kamu kayak gini."

"Hei, nggak papa. Jangan nangis," ucap Ray. Laki-laki itu mengusap kepala Bree lembut. "Aku baik-baik aja. Kamu jangan sedih."

"Semua gara-gara aku, Ray," ucap Bree. "Karena kamu berusaha ngelindungin aku, kamu jadi kayak gini," ucap Bree parau.

"Nggak masalah, Sayang," ucap Ray. "Ini bukan gara-gara kamu. Ini semua keinginan aku. Aku yang mau melindungi kamu. Aku nggak mau mereka maksa kamu, atau bikin kamu sakit."

"Tapi-"

"Udah," sela Ray. Ia menarik dagu Bree, hingga gadis itu melihatnya. Ray mengusap air mata Bree. "Jangan nangis. Aku nggak suka. Sekarang senyum dulu."

Bree diam sejenak, lalu menarik kedua sudut bibirnya. Meskipun terpaksa, ia tetap berusaha tersenyum.

"Nah, gitu dong. Lebih cantik," ucap Ray, membuat pipi Bree memanas.

"Kamu mau makan? Aku suapin," ucap Bree. Ray mengangguk. Bree membantu Ray untuk duduk diatas brankarnya. Gadis itu mengambil semangkuk bubur yang sudah diletakkan diatas nakas, dan menyuapi Ray dengan sangat hati-hati.

Selama Ray makan, tidak ada suara yang tercipta. Yang terdengar hanya suara pendingin ruangan yang tidak terlalu keras. Bree masih sibuk menyuapi Ray, sedangkan laki-laki itu masih sibuk memandang Bree dengan penuh kasih sayang.

"HAI!"

Tiba-tiba saja, pintu kamar Ray terbuka. Zio, Virgo, Daniel, dan Joan datang, membawa banyak sekali kantung plastik.

"Kita bawa banyak makanan. Ada pizza, burger, batagor, soto ayam, mie goreng, buah, cheese cake, sama pastel tutup," ucap Zio, sembari tersenyum senang.

"Siapa yang lo suruh makan sebanyak itu?" tanya Ray sinis. Hilang sudah kesempatannya berduaan dengan Bree lebih lama. Gadis itu berdiri, menyambut keempat sahabatnya.

Tau gitu tadi gue lama-lamain ngunyahnya, biar Bree nggak pergi dari sebelah gue! batin Ray kesal.

Joan dengan sigap membuka semua makanan yang mereka bawa diatas meja. Untung saja meja yang ada di ruang VIP Ray cukup besar, jadi mampu menampung semua makanan yang dibawa sahabatnya, walaupun sedikit berdesakan saking banyaknya.

"Lo mau bagi-bagi sama suster-suster? Banyak amat," gerutu Ray.

"Yeee, biarin aja. Kita tuh laper, tau. Sirik ya lo nggak bisa makan?" ledek Zio, yang disusul kekehan dari Daniel dan Virgo.

"Atau lo masih mau berduaan aja sama Bree, makanya lo gregetan liat kita disini?" tanya Daniel, seolah tahu isi kepala Ray.

"Udah tau masih nanya!" desis Ray. Bree yang mendengar jawaban Ray, hanya menunduk malu.

Duh, Bree! Digituin doang lo udah salting!

"Lo nggak dating sama pacar lo, Zi?" tanya Ray lagi. Ia masih berusaha untuk mengusir sahabatnya itu satu persatu.

"Lagi ke rumah Oma dia. Makanya gue kesini. Sekalian gangguin lo sama Bree," jawab Zio enteng. Ia sudah mengambil sepotong pizza, dan langsung melahapnya.

Pagi itu, suasana kamar Ray sudah sangat ramai. Gelak tawa memenuhi ruangan. Untung saja Ray berada di kamar VIP yang kedap suara, jadi tak akan mengganggu pasien lain.

***

"Ma, Aku denger, Kak Ray dipukulin sama orang-orangnya Papa!"

Valerie terlihat begitu khawatir. Ia menggigit kukunya, menandakan ia begitu takut akan keadaan laki-laki itu.

Nindia memeluk Valerie yang terlihat hampir menangis. "Jangan khawatir. Dia nggak akan kenapa-napa. Kamu mau kan, Ray jadi milik kamu?"

Valerie mengangguk.

"Kamu percaya sama Mama. Rencana Mama akan berhasil."

WITH LOVE, BRIANNA. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang