WLB | 6

5.3K 527 5
                                    

"Lo mau bawa gue kemana?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo mau bawa gue kemana?"

Joan hanya tersenyum simpul. "Bentar. Lo harus ditutup dulu matanya."

Joan menutup mata Bree dengan sebuah sapu tangan yang ia tak tahu darimana asalnya. Bree hanya bisa pasrah, mengikuti Joan yang menuntunnya berjalan.

"Jo awas lo aneh-aneh," ancam Bree.

"Hmm," gumam Joan.

Akhirnya, Joan dan Bree berhenti. Suasana hening. Bree mulai bingung, Joan tidak lagi bersuara.

"Jo?"

"Joan?"

Bree bingung. Apa dia sedang dikerjai?

Tiba-tiba, seseorang membuka penutup mata Bree. Bree menatap pemandangan di hadapannya dengan pandangan takjub.

"Suka?"

Suara bariton di belakang Bree membuat gadis itu menoleh. Bree mundur selangkah saat ia merasa tubuhnya terlalu dekat dengan laki-laki itu. Bree mendongak, dan mendapati Ray yang sedang menatapnya dengan senyum miring.

"Ngapain lo disini? Joan mana?" tanya Bree ketus. Pandangan takjubnya sudah sirna, digantikan dengan raut wajah datar nan galak.

"Joan udah pergi sama Daniel," kata Ray. "Happy birthday, babe."

Bree terkejut bukan main. Joan meninggalkannya bersama laki-laki gila ini?

"Ayo. Gue udah siapin susah-susah buat lo," kata Ray lembut. Bree tertawa dalam hati mendengarnya. Menurutnya kebaikan Ray sangat menjijikan, membayangkan ia melakukan semua ini untuk semua pacarnya.

Bree mengikuti Ray masuk ke dalam bagasi mobil. Kursi paling belakang mobil Ray sudah diturunkan, dan dilapisi dengan selimut putih tebal. Mobilnya sudah ia hias sedemikian rupa hingga terasa sangat nyaman. Ray juga sudah menyiapkan beberapa makanan kesukaan Bree, yang ia ketahui dari Joan. 

"Lo suka?"

Bree bergumam pelan, berusaha menetralkan ekspresinya. Padahal sebenarnya, ia ingin melompat kegirangan dan memeluk Ray saat itu juga. Ini pasti karena Joan. Dulu, Bree pernah berandai-andai, ia bisa melakukan semua ini bersama Ayahnya. Tapi Ayahnya terlalu sibuk untuk itu.

"Nggak suka, ya?" tanya Ray, sedikit kecewa. Bree menatap Ray geli. "Baper banget lo."

"Suka, nggak?"

"Hmm."

"Hah? Gue nggak denger."

"Suka," jawab Bree pelan. Sangat pelan. Ray sebenarnya bisa medengar, tapi ia ingin mendapat pengakuan bahwa Bree menyukainya.

"Apa?"

"Suka, budek!" jawab Bree kesal. Ray terkekeh. "Bagus, lah."

Ray membuka makanan yang sudah ia siapkan. Beberapa makanan khas Italia kesukaan Bree seperti pizza, spaghetti carbonara, dan beberapa makanan lainnya sudah terjadi dengan sangat apik di antara mereka.

Bree dan Ray menikmati makanan mereka sambil menatap pemandangan indah yang tersaji di depan mereka. Sore itu, cuaca begitu mendukung. Mereka sedang berada di sebuah dataran tinggi, dimana mereka bisa melihat hamparan sawah membentang indah.

"Ngasih lo surprise ulang tahun itu murah banget, tau. Kenapa lo nggak suka diajak fine dining atau dapet hadiah mahal kayak cewek-cewek biasanya?"

"Soalnya gue bukan 'cewek-cewek biasanya'," jawab Bree seadanya. Ia masih fokus menyantap makanannya.

Ray mengangguk. "Gue tau kalo itu. Bahkan lo menolak pernyataan cinta dan ketampanan seorang Rayner selama dua tahun."

"Najis banget lo," ucap Bree. Ray terkekeh lagi. "Kayaknya gue harus bilang makasih sama keluarga lo, deh. Gara-gara mereka jodohin lo, lo jadi mau pacaran sama gue."

Bree menatap Ray malas. "Segitunya lo mau jadi pacar gue?"

Ray mengangguk. "Lo itu ibarat level tersulit kalo di game. Kalo gue udah berhasil dapetin lo, berarti gue udah jago banget."

Bree memutar bola matanya jengah. "Dasar playboy."

Sakit hati? Tidak sama sekali. Bree sadar, hubungannya dengan Ray hanya sebatas hubungan saling menguntungkan. Apa yang bisa ia harapkan dari seorang playboy seperti Ray? Ray tak pernah serius dengan pacar-pacarnya. Ia hanya ingin bermain-main.

Tapi bohong bila kejutan yang diberikan Ray ini tidak membuatnya senang. Papanya tak pernah bisa mewujudkannya, tapi Ray sekarang bersedia mewujudkan keinginannya.

Mereka menghabiskan waktu di tempat itu hingga malam. Melihat matahari yang mulai sedikit demi sedikit tenggelam di ufuk barat. Setelah gelap, Ray mengantar Bree pulang.

***

"Thanks," ujar Bree saat mereka sudah sampai di depan rumah. Ray mengangguk. "Lo masuk dulu."

Bree masuk ke dalam rumah, setelah penjaga rumahnya membukakan pintu gerbang. Setelah melihat Bree menghilang dibalik pintu utama rumahnya, Ray mengemudikan mobilnya menjauh dari rumah Bree.

"Darimana kamu?"

Bree menoleh malas kearah Nindia yang sedang menatapnya meremehkan. Di sebelahnya ada Valerie, yang selalu menjadi ekor Nindia.

"Bukan urusan lo."

Nindia berjalan ke arah Bree, menampar gadis itu keras. "Anak kurang ajar! Nggak bisa sedikitpun kamu hormat sama saya?!"

Bree ingin sekali menampar balik wanita itu. Tapi ia urungkan, karena pasti Nindia akan merengek dan melapor pada papanya tentang perlakuan Bree. Dan tentu, papanya akan memarahinya habis-habisan demi membela sang istri.

Bree berjalan ke dalam kamarnya, meninggalkan dua perempuan ular itu. Tak ia pedulikan teriakan Nindia yang mengatainya dengan sebutan 'anak tidak tau diuntung', 'anak kurang ajar' , dan lainnya.

Bree masuk ke dalam kamar mandi yang terdapat walk in closet di dalamnya. Ia mandi dan membersihkan tubuhnya, lalu menatap kaca, memastikan pipinya tidak membengkak.

Bree cukup beruntung, walaupun kedua pipinya sudah sering menjadi sasaran tamparan Nindia atau Geraldi, pipinya tak pernah membengkak.

Bree keluar dari kamar mandi, berjalan ke arah meja rias. Ia mengeringkan rambutnya dengan hair dryer, dan menggunakan skin care malamnya. Bree bukan anak yang cuek tentang perawatan diri sendiri. Ia selalu merawat tubuh dan wajahnya dengan baik.

Setelah selesai, Bree melangkahkan kakinya menuju kasur, lalu merebahkan dirinya di kasur. Sebuah senyuman terbesit di bibirnya tanpa ia sadari, mengingat momen-momen saat ia bersama Ray hari ini.

Tak ia sangka, Ray adalah laki-laki yang baik dan asyik sebagai seorang teman. Atau mungkin hal itu yang membuat para gadis menyukainya? Selain wajah tampan dan otak yang cemerlang, tentunya.

Entahlah, Bree tak tahu. Yang jelas ia tak boleh jatuh hati pada Ray. Ia tak ingin mengalami sakit hati lagi. Sudah cukup ia mengalami sakit hati saat di rumah.

Bree mengambil buku hariannya di bawah kasurnya. Setelah selesai menulis, Bree membaringkan tubuhnya. Tak lama, ia sudah tenggelam di alam mimpi.

WITH LOVE, BRIANNA. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang