Ray berjalan gontai menuju sekolah. Sejak semalam, dirinya terus dipenuhi kekhawatiran. Bree sama sekali tak menjawab telfonnya.
Sebelumnya memang Bree sudah mengatakan, bahwa setelah itu, Bree pasti akan menghilang beberapa hari. Atau mungkin bahkan minggu. Ray mengangguk tak peduli. Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah kepuasan karena sudah berhasil menjadikan Bree pacarnya. Setidaknya, ia merasa sudah berhasil melewati level tersulit dari sebuah permainan.
"Woy, kenapa lo, Sob?" tanya Zio, sahabat Ray. Kalau Ray menyandang "siswa terganteng" peringkat satu di sekolah, Zio menduduki peringkat dua. Zio juga tidak sebrengsek Ray yang terus berganti pasangan. Ia masih setia dengan pacarnya sejak SMP.
"Gimana makan malem lo?" tanya Zio lagi saat masih belum mendapat jawaban dari Ray.
"Kayaknya nggak lancar. Yo. Liat tuh mukanya. Udah mau makan orang," celetuk Daniel, salah satu murid teladan sekolah, padahal kelakuannya di luar sekolah begitu liar.
Zio dan Virgo terkekeh. "Baru kali ini gue liat seorang Rayner kusut kayak baju belom di setrika."
Ray menatap Zio tajam, membuat Zio menghentikan ocehannya.
Ray berdiri dari kursinya, lalu pergi ke luar kelas.
"WOY, RAY! LO MAU KEMANA?!" teriak Zio.
"Cabut!"
Ray meninggalkan sekolah, bahkan sebelum bel masuk berbunyi.
***
"Non, ayo makan dulu. Non belom makan sejak pagi, Non."
Bree menggeliat. Ia membuka matanya saat mendengar suara Bi Nur yang khawatir. Bree mendudukan tubuhnya dan bersandar pada kepala kasur. Ia mengambil nampan yang diberikan Bi Nur, mengucapkan terima kasih.
"Papa udah pergi, Bi?"
Bi Nur mengangguk. "Nyonya juga lagi pergi sama temen-temennya. Non Valerie lagi sekolah."
Bree berdecih. "Nggak usah sebut mereka berdua, Bi. Bree nggak peduli."
Bi Nur menatap Bree iba. Ia sudah menjaga Bree sejak gadis itu masih bayi. Ia sudah paham semua masalah yang terjadi di keluarga Geraldi. Termasuk bagaimana Nindia dan Valerie memperlakukannya bila Geraldi tidak ada di rumah.
Tapi apa dayanya. Ia hanya bisa menatap dan menangis dalam diam. Ia ingin sekali membantu, namun Bree selalu melarangnya. Ia tak mau Bi Nur mengalami masalah karena membantunya.
"Bi, duduk sini. Temenin Bree ngobrol," ujar Bree sambil menepuk kasur di sebelahnya.
"Jangan, Non. Bibi di bawah aja," Bi Nur hendak duduk di bawah, namun Bree mencegahnya.
"Jangan, Bi. Ayo sini. Nanti Bree marah, lho."
Bi Nur akhirnya menurut. Ia duduk di sebelah Bree. Tanpa sadar, Bi Nur menitikkan air mata saat melihat kedua pipi Bree yang merah akibat tamparan Geraldi semalam.
"Bibi tau nggak, Bree sayaaaaang banget sama Bibi. Bahkan Bree lebih sayang sama Bibi daripada sama Papa."
Hati Bi Nur mencelos mendengar penuturan gadis itu. Kebencian Bree pada papanya sangat besar. Ia menghapus air mata yang mengalir di pipinya.
"Loh, Bi, jangan nangis," ujar Bree. Ia meletakkan piringnya di atas paha, mengusap kedua mata Bi Nur.
"Non jangan benci sama Tuan, ya. Tuan sayang banget sama Non. Tuan bakal sadar kok suatu saat," ujar Bi Nur. Bree hanya tersenyum miris.
"Papa bisa sadar kalau dua cewek ular itu udah nggak ada disini lagi, Bi. Papa dulu nggak kayak gini, kan? Papa tuh sayaaaang banget sama Bree. Tapi Papa berubah sejak mereka dateng."
Bi Nur mengangguk paham. Ia menatap Bree yang mulai berkaca-kaca, namun berusaha menutupinya dengan melahap makanannya cepat sambil menunduk.
"Udah selesai, Bi," kata Bree, menyerahkan piringnya pada Bi Nur. Bi Nur segera membereskan piring dan gelas Bree, lalu berjalan keluar.
"Bi," panggil Bree saat Bi Nur hampir membuka pintu kamar. Bi Nur menoleh. "Ada apa, Non?"
"Makasih ya Bi, udah mau dengerin curhatan Bree."
Bi Nur mengangguk, berusaha menahan air matanya keluar lagi. Wanita paruh baya itu keluar dari kamar, dan menangis saat ia sudah sampai di dapur.
Di kamarnya, Bree menatap langit-langit kamar. Ia kembali memutar memori-memori indah saat Rossa masih ada. Saat hidupnya masih indah, saat ia masih memiliki kasih sayang yang cukup.
Sekarang semuanya sudah berubah. Rossa sudah meninggalkannya. Tak ada lagi kasih sayang seorang ibu untuknya. Bahkan, kasih sayang seorang ayah pun lenyap. Yang ia miliki hanya perhatian dari Bi Nur dan Joan, sahabatnya.
Semua yang terjadi lima tahun belakangan ini sangat mengubah hidup Bree. Ia menjadi pribadi yang pemarah, jutek, tak peduli dengan sekitar, tidak takut pada orang yang lebih tua, dan banyak lagi. Seorang Brianna yang riang dan seperti tuan putri sudab lenyap, digantikan Brianna yang 180 derajat berbeda.
Tanpa sadar, air matanya mulai turun lagi.
"Ma, Bree kangen."
KAMU SEDANG MEMBACA
WITH LOVE, BRIANNA. ✓
Novela JuvenilMenjadi pribadi yang galak dan emosional adalah sebuah bentuk pertahanan diri seorang Brianna Rossana Geraldi. Alasannya sederhana, ia hanya tak ingin terlihat lemah di depan orang lain. Menjadi putri kandung seorang Geraldi tak membuat dirinya bah...