WLB | 33

5.9K 431 5
                                    

"Om, biar Joan sama Ray yang jaga Bree

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Om, biar Joan sama Ray yang jaga Bree. Om pulang dulu, istirahat. Besok, Om bisa balik kesini lagi."

Geraldi menggeleng, menanggapi bujukan Joan.

"Om, Bree pasti sedih kalo liat Om kayak gini. Om nggak mau kan, kalau nanti Bree bangun, dia liat papanya pucet?"

Geraldi terdiam sebentar. Ucapan Joan ada benarnya. Akhirnya, ia memilih untuk mengikuti saran Joan.

"Tolong jaga anak Om. Besok, Om akan kembali ke sini."

Joan dan Ray mengangguk. Setelah itu, Geraldi pulang ke rumah untuk beristirahat, setelah seminggu penuh ini ia kurang tidur. Wajahnya terlihat lelah, dan frustrasi. Sangat berbeda dengan Geraldi yang penuh wibawa seperti biasanya.

Joan menitikkan air mata, melihat kondisi Bree. Selang-selang terpasang di tubuh sahabatnya. Ia tak tega melihat Bree harus menanggung rasa sakit sebesar ini.

Sama dengan Joan, Ray juga merasakan hal yang sama. Melihat kondisi Bree saat ini, membuat hatinya teriris. Kalau saja ia dan Geraldi hari itu datang lebih cepat, Bree mungkin tidak akan seperti ini.

Ya, hari itu, Ray tidak pulang ke rumahnya. Ia menunggu di ujung gang, setelah menghubungi Geraldi. Ray mempunyai firasat, akan terjadi sesuatu pada Bree. Oleh karena itu, ia bekerjasama dengan Geraldi untuk memergoki aksi busuk Nindia dan Valerie.

Dan benar saja, mereka berdua melakukan hal gila pada Bree. Namun, saat mereka sampai di rumah, Bree sudah jatuh tak berdaya di pangkuan Bi Nur. Kalau saja Geraldi tidak terjebak macet, mungkin Bree tidak akan terbaring lemah seperti sekarang.

Tapi ada sisi dimana Ray bersyukur mereka datang agak terlambat. Kalau mereka datang lebih cepat, keburukan Nindia dan Valerie tidak akan terbongkar. Mereka tidak akan tahu kalau obat Bree ditukar dengan obat lain.

Ray meraih tangan Bree, mengusapnya pelan. Ia menatap nanar gadisnya, berharap Bree akan segera bangun dari tidur panjangnya.

"Bangun, Sayang. Aku kangen kamu."

***

Sesampainya di rumah, Geraldi berjalan gontai keluar dari mobil. Bi Nur berlari tergesa-gesa menyambut majikannya.

"Tuan? Tuan nggak papa?"

Geraldi tersenyum tipis, mengangguk. Ia melangkahkan kakinya menaiki tangga. Namun Geraldi bukan pergi ke kamarnya, melainkan ke kamar Bree.

Kamar itu terasa begitu dingin, setelah seminggu lebih ditinggal oleh penghuninya. Geraldi mengedarkan pandangannya, meneliti kamar anak gadisnya itu lamat-lamat.

Ia tak ingat kapan ia mengunjungi Bree di kamarnya terakhir kali. Mungkin, saat kematian Rossa.

Dulu, Rossa dan Geraldi sering sekali mengunjungi kamar Bree, untuk sekedar mengobrol ringan dan bercanda bersama. Namun hal itu sirna setelah kematian Rossa, seakan semua memori baik ikut terkubur bersama kematian mendiang istrinya.

Geraldi merebahkan tubuhnya di atas ranjang Bree. Ranjang itu terasa dingin. Ia memejamkan matanya, menghalau rasa lelah.

Selama seminggu pula, Geraldi tidak pergi ke kantor. Ia mempercayakan urusan kantornya pada sekretaris sekaligus tangan kanannya. Sesekali, Geraldi memeriksa keadaan perusahaannya lewat tablet miliknya.

Merasa tak bisa tidur, Geraldi bangkit dari tempatnya. Ia memasuki kamar mandi milik Bree, yang terhubung dengan walk in closet. Ia tak ingat Bree suka warna putih. Sebagian besar baju Bree berwarna putih.

Geraldi tersenyum miris. Ia terlalu tidak mengenal anaknya sendiri. Ia merutuki dirinya, betapa bodohnya ia sebagai seorang ayah.

Geraldi keluar dari kamar mandi Bree, lalu terduduk di lantai samping kasur. Ia menyandarkan kepalanya di tembok, sambil memijat pangkal hidungnya.

Saat Geraldi menoleh, ia melihat sebuah kotak yang ada di bawah kasur Bree. Geraldi segera menarik kotak itu. Ia menemukan ada beberapa buku yang tertumpuk di sana.

Geraldi mengambil buku yang paling atas, lalu membukanya. Ternyata itu adalah buku harian Bree. Ia memutuskan untuk melakukan tindakan lancang, dan membacanya satu per satu.

Semakin banyak halaman yang ia baca, semakin teriris hatinya. Di sana, Bree selalu menceritakan apa yang ia rasakan. Bagaimana sakitnya dibenci oleh papanya sendiri.

Rasa bersalah semakin menyelimuti Geraldi. Ia menangis tersedu-sedu.

"Maafkan aku, Rossa. Aku gagal menjadi papa yang baik untuk putri kita. Aku janji, aku akan memperbaiki semuanya. Aku akan memberikan kebahagiaan yang tidak berujung untuk Bree."

Geraldi tidak beranjak dari tempatnya selama beberapa saat, sambil melamun. Hingga akhirnya, bunyi dering ponsel membuyarkan lamunannya. Ia mengangkat telepon itu.

"Om, Bree sudah sadar."

WITH LOVE, BRIANNA. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang