Dua minggu sudah sejak Ray diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Sejak itu pula, Bree dan Ray terlihat dua kali lebih dekat.
Dimana ada Bree, selalu ada Ray. Begitu juga sebaliknya. Mereka benar-benar pasangan yang tidak bisa dipisahkan.
Banyak pasang mata yang menatap mereka iri. Terutama dari kalangan siswi-siswi. Mereka selalu ingin berada di posisi Bree saat ini. Mereka bisa melihat betapa Ray sangat menyayangi Bree.
Mereka sudah berpacaran selama dua bulan tiga minggu. Itu artinya, satu minggu lagi adalah saat mereka harus berpisah.
Jujur, Bree tidak siap. Ia sudah jatuh cinta pada Ray, pacar pertamanya. Entah kapan terakhir kali Bree merasakan jatuh cinta, atau bahkan tidak pernah sama sekali, ia tidak ingat. Yang jelas, ia tidak ingin kehilangan Ray untuk saat ini.
Tapi Bree tidak boleh egois. Ia yang mengatakan pada Ray, bahwa hubungan mereka akan terjalin tiga bulan saja. Hanya untuk membuat orang tua Bree percaya dan membatalkan perjodohannya.
Bree sudah bertekad. Satu minggu yang tersisa ini, akan ia habiskan bersama Ray dengan sangat baik. Ia ingin mengukir memori-memori indah, yang mungkin tidak akan bisa ia dapatkan nantinya. Biar saat Ray tidak ada di sisinya nanti, Bree masih memiliki kenang-kenangan yang bisa ia simpan seumur hidupnya.
"Bree? Kenapa melamun?"
Suara berat Ray membuyarkan lamunan Bree. Gadis itu terkesiap, mengerjapkan matanya beberapa kali. Hal itu tertangkap oleh mata Ray, membuat laki-laki itu terkekeh gemas.
"Kamu kenapa?" tanya Ray.
Bree menggeleng. "Nggak," jawabnya singkat. Ia menyesap coklat panasnya, sembari menatap keluar jendela.
Saat ini, mereka sedang berada di Flint Cafe milik Iagan. Namun hari ini, Iagan tidak ada ditempat. Jadi mereka tidak bisa mengobrol. Padahal, Bree ingin sekali mengenalkan Ray pada Iagan.
"Bree?"
Bree dan Ray menoleh, dan mendapati seorang laki-laki dengan jaket jeans dan ransel tersenyum sumringah kearah mereka.
"Nathan!" pekik Bree senang. "Ayo duduk!"
Nathan menatap Ray sebentar. Ia ingat laki-laki itu. Laki-laki yang menyelamatkannya dari perjodohan orang tuanya.
"Ray, kenalin. Ini Nathan, yang waktu itu mau dijodohin sama aku," ujar Bree. Ray mengamati Nathan sebentar, masih memasang wajah datarnya.
"Ray?" panggil Bree. Gadis itu mengernyit, heran melihat reaksi Ray.
Nathan masih tersenyum lebar, mengulurkan tangannya pada Ray. "Nathan."
Ray menyambut uluran tangan Nathan, masih dengan wajah datarnya. "Ray."
Bree masih bingung dengan sikap Ray yang tidak biasa ini. Ia ingin bertanya, tapi tidak enak karena ada Nathan.
Nathan yang merasakan kecemburuan Ray, terkekeh. "Pacar lo cemburu, Bree. Gue pindah dulu. Sekalian mau cari tempat yang ada colokannya. Mau ngerjain tugas."
Bree mengangguk, sembari tersenyum. Ia tak enak pada Nathan. Saat melihat Nathan menjauh, Bree memukul punggung tangan Ray yang ada di atas meja.
"Kamu kenapa, sih?" tanya Bree kesal.
"Kenapa apanya?" tanya Ray.
"Nggak sopan tau, kayak gitu sama orang!"
"Kok kamu belain dia? Kan yang pacar kamu aku," jawab Ray.
"Kamu beneran cemburu?" selidik Bree. Ray membuang mukanya kearah lain.
"Nggak," jawabnya singkat.
Sebuah senyuman terbit di bibir Bree. Ia mencolek punggung tangan Ray lagi.
"Pacar aku cemburu," godanya.
Ray menarik tangannya dari atas meja. "Nggak, ah! Cemburu kenapa? Masih gantengan aku daripada dia. Dia jelek!"
Bree terkekeh mendengar ucapan Ray. "Lucu banget cemburu."
"Nggak cemburu!" jawab Ray kesal.
"Cemburu!"
"Nggak!"
"Cemburu!"
"Nggak!"
"Bohong!"
Dan perdebatan itu berlangsung hingga lima belas menit, karena tidak ada yang mau mengalah. Bree yang masih menggoda Ray, dan Ray dengan segala gengsinya.
***
Valerie mendengarkan sebuah voice note yang baru saja dikirimkan Mamanya dengan seksama. Matanya membulat sempurna.
"Ini beneran, Ma?"
Nindia mengangguk puas.
"Mama dapet darimana?"
"Dari orang yang nggak suka sama Brianna," ucap Nindia. "Dia yang ngerekam diem-diem. Untung aja dia ngerekam. Itu bisa jadi senjata kuat untuk memisahkan Brianna dan Ray."
"Berarti kita nggak perlu repot-repot misahin mereka dong, Ma? Seminggu lagi, mereka bakal putus dengan sendirinya, kan?"
Nindia mengedikkan bahu. "Dari yang Mama lihat, mereka sudah mulai saling suka. Ini buat back up plan kita, seandainya mereka nggak putus. Kita bisa tunjukkin bukti ini ke Papa. Bayangin gimana reaksi Papa waktu tau dia dibohongi sama Brianna?"
Valerie terkekeh. "Mama emang bisa banget diandelin."
"Mama udah bilang. Kamu tenang aja. Brianna dan Ray pasti akan pisah, gimanapun caranya. Kamu lebih pantes dapet Ray, sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
WITH LOVE, BRIANNA. ✓
Teen FictionMenjadi pribadi yang galak dan emosional adalah sebuah bentuk pertahanan diri seorang Brianna Rossana Geraldi. Alasannya sederhana, ia hanya tak ingin terlihat lemah di depan orang lain. Menjadi putri kandung seorang Geraldi tak membuat dirinya bah...