WLB | 34

5.9K 395 8
                                    

Saat Bree membuka matanya, cahaya langsung menerobos masuk, membuatnya sedikit mengernyit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat Bree membuka matanya, cahaya langsung menerobos masuk, membuatnya sedikit mengernyit. Bau antiseptik yang menyengat juga langsung menusuk indera penciumannya. Ia langsung tahu, bahwa ia sedang ada di rumah sakit.

Ia menoleh, dan mendapati ada Rania dan beberapa perawat yang berada di sekelilingnya. Memeriksa infus, dan selang-selang lain yang ada di tubuhnya.

"Brianna, kamu bisa dengar saya?"

Bree mengangguk samar. Rania menghela nafas lega. Setelah mereka sibuk memeriksa Bree, mereka semua keluar dari ruangan. Tak lama, Ray dan Joan masuk.

"Bree, lo nggak papa?"

Bree melihat wajah sembab Joan. Ia kembali mengangguk samar. Tubuhnya masih terlalu lelah. Entah sejak kapan ia tak sadarkan diri.

Yang ia ingat, ia sedang berjalan-jalan sendirian di padang rumput luas. Setelah bertemu Rossa, ia tak tahu harus bagaimana. Ia terus mencari jalan keluar dari padang rumput tak berujung itu. Dan baru saja, ia menemukan sebuah pintu putih. Saat Bree membuka pintu itu, ia terbangun.

"Be..rapa la..ma aku di...sini?" tanya Bree.

"Satu minggu, Sayang," ucap Ray. Terlihat sekali Ray sangat lega melihat Bree yang sudah sadar.

Bree diam, tak menjawab. Ternyata, selama itu dia tak sadarkan diri. Selama itu pula, ia bermain sendirian di padang rumput luas itu.

"Ngan..tuk."

Joan dan Ray mengangguk. Ray mengusap dahi Bree lembut.

"Aku sama Joan keluar dulu. Kamu tidur aja."

Bree mengangguk samar. Setelah itu, ia kembali terlelap dalam tidurnya.

Setelah menutup pintu kamar, Joan mendongak menatap Ray.

"Bree bakal baik-baik aja kan, Ray?"

Ray mengangguk. "Kenapa?"

"Gue takut kalo dia tidur lagi, dia nggak.... bakal bangun."

Joan kembali terisak. Hati Ray seketika mencelos mendengarnya. Ia juga tidak ingin kehilangan Bree. Tapi ia yakin, Bree akan baik-baik saja.

Ray menepuk pundak Joan, seolah menenangkan gadis itu. Tak lama, Geraldi datang dengan tergesa-gesa bersama Bi Nur.

"Bagaimana keadaan Bree?" tanya Geraldi. "Dia sudah sadar?"

Ray dan Joan mengangguk. "Bree ada di dalam, Om. Dia lagi tidur."

"Tidur?" tanya Geraldi. Wajahnya memucat seketika.

Ray langsung paham. Ia segera menjelaskan. "Tidur karena lelah, Om. Tenang aja, Bree bakal baik-baik aja, kok. Om bisa langsung ketemu Tante Rania aja untuk kelanjutannya."

Geraldi menghela nafas lega, begitu juga dengan Bi Nur. Setelah itu, Geraldi melangkahkan kakinya menuju ruangan Rania, untuk mencari tahu lebih lanjut tentang kondisi Bree.

"Gue anter lo pulang, Jo. Lo harus istirahat. Gue nggak mau digebukin Daniel gara-gara lo sakit."

Joan tersenyum tipis, lalu mengangguk. Mereka berdua berpamitan pada Bi Nur yang sedang duduk di kursi tunggu, lalu pergi meninggalkan rumah sakit.

***

Geraldi memasuki kamar Bree, membuat Bree berjengit kaget. Melihat papanya yang terlihat begitu lelah, Bree langsung khawatir.

"Papa kenapa? Papa nggak tidur, ya?" tanya Bree polos. Ia bisa melihat kantung mata papanya yang menghitam.

Geraldi merasa hatinya sakit saat mendengar pertanyaan Bree. Selama ini, yang ia berikan hanya rasa sakit untuk Bree. Tapi gadis itu masih peduli padanya.

Geraldi memeluk Bree erat, tanpa mengatakan apa-apa. Hal itu sontak membuat Bree membeku. Bukan, itu bukan pelukan hambar seperti yang Geraldi berikan beberapa tahun terakhir ini. Itu adalah pelukan hangat, yang langsung bisa membuat Bree meneteskan air mata.

Tak lama, terdengar isakan dari mulut Geraldi. Bahu laki-laki itu bergetar hebat. Bree mengusap punggung papanya, berusaha menenangkan.

"Papa kenapa?"

Geraldi masih diam dan menangis. Sudah lama sekali, ia tidak melakukan ini pada Bree. Memeluk gadis itu dan menyalurkan kasih sayang tulusnya. Selama ini, ia dibuat buta dan tuli karena mulut manis Nindia.

"Maaf..." ucap Geraldi. "Maafkan Papa, Bree."

Bree.

Bree menangis keras. Ia sudah tak bisa membendung lagi rasa bahagianya saat ini. Ya, itu adalah tangis bahagia.

Sudah lama sekali papanya tidak memanggil nama kecilnya. Sejak kedatangan Nindia, dan sejak Geraldi berubah, ia tak pernah lagi mendengar nama itu dari mulut papanya.

Geraldi menguraikan pelukannya, mencium kening Bree lama. Anak gadisnya masih terisak, tak menyangka hari ini akan datang.

"Maafkan Papa, Sayang. Papa salah. Kamu boleh benci Papa. Dan Papa janji, akan menebus semua kesalahan Papa terhadap kamu. Papa terlalu percaya dengan perempuan itu, dan malah membenci anak Papa sendiri. Papa minta maaf..."

Bree hanya diam, terisak. Ia merasa beban hidupnya terangkat begitu saja. Mendengar Ayahnya mengucapkan kalimat-kalimat lembut seperti ini padanya, membuat Bree begitu senang.

Bree akhirnya mengangguk. "Bree nggak pernah benci Papa. Bree sayang Papa..."

Hari ini, Bree merasa hidupnya lengkap untuk yang pertama kalinya. Ia mendapatkan papanya kembali, ia memiliki pacar yang begitu menyayanginya. Sahabat-sahabat yang selalu ada untuknya.

Sepertinya, mulai hari ini juga, buku harian Bree hanya akan terisi cerita-cerita bahagia. Bukan lagi kesedihan dan kekecewaan.

WITH LOVE, BRIANNA. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang