WLB | 24

4K 379 3
                                    

Sepulang dari mall, mereka pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan keadaan Bree

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepulang dari mall, mereka pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan keadaan Bree.

"Sudah bagus, Bree. Tumor di otak kamu mulai mengecil. Kalau kamu rajin terapi dan minum obat, kamu pasti bakal sembuh."

Bree tersenyum senang. Ia bisa sembuh. Ia bisa kembali menjalani aktivitasnya kembali, tanpa harus merasakan pusing atau mual.

"Kira-kira, kapan Bree bisa sembuh, Dok?" tanya Bree tak sabar.

"Tergantung seberapa rutin kamu terapi dan minum obat, juga bergantung sama keajaiban. Tapi saya yakin, kamu akan sembuh segera. Yang penting, kamu nggak boleh stress. Jangan biarin diri kamu tertekan."

Bree mengangguk. "Makasih, Dok."

Ray dan Bree berdiri, meninggalkan ruangan Rania. Mereka berjalan beriringan menuju cafetaria rumah sakit.

"Mau makan apa?" tanya Ray. Bree mengedarkan pandangannya, mencari makanan yang menarik dimatanya.

"Sandwich!" ucap Bree. Ray mengangguk. "Tunggu sini. Aku beliin."

Bree duduk di kursinya, sambil memainkan ponselnya. Ada beberapa pesan dari Joan yang belum ia balas.

Bicara tentang Joan, gadis itu belum tahu tentang penyakit Bree. Ray dan Bree berhasil menyimpan penyakit Bree rapat-rapat. Tidak ada satupun yang tahu. Hanya Bree, Ray, dan Rania.

Tak lama, Ray kembali membawa nampan dengan dua porsi sandwich dan dua es teh manis diatasnya. Ia meletakkan milik Bree dihadapan gadis itu. Mereka berdua menyantap makanan mereka, sembari mengobrol ringan.

Disisi lain cafetaria, seseorang mengamati mereka dengan seksama. Orang itu mengernyit heran, melihat kehadiran mereka disana.

Ngapain mereka kesini? Siapa yang sakit?

***

Bree menatap meja makan yang terasa begitu hangat tanpa kehadirannya. Sebenarnya ia enggan untuk turun dan bergabung. Tapi tadi Bi Nur memanggilnya di kamar, mengatakan Ayahnya menyuruhnya untuk turun dan sarapan bersama.

Begitu Bree sampai di meja makan, keadaan berubah menjadi canggung. Tapi Bree tidak terlalu peduli. Ia duduk di sebelah Valerie, tempatnya seperti biasa. Padahal kalau bisa memilih, Bree lebih memilih untuk makan di kamar saja.

Bree makan dalam diam, begitu juga dengan yang lainnya. Setelah selesai, Bree langsung berdiri, dan mengambil tasnya.

"Mau kemana kamu?" tanya Geraldi akhirnya. Ini adalah kalimat yang dilontarkan papanya sejak ia pulang dari luar negeri untuk urusan pekerjaan. Semalam, papanya baru saja sampai.

"Sekolah," jawab Bree singkat. Aneh, padahal Bree sudah jelas-jelas menggunakan seragamnya. Kenapa masih bertanya?

"Mulai sekarang, kamu akan diantar jemput oleh supir. Tidak ada pergi dengan Ray."

Bree membelalakkan matanya. "Kenapa? Apa lagi alasannya?"

"Kamu nggak tau alasannya?!" tanya Geraldi. Suaranya sudah meninggi. "Kamu sudah bikin Papa nggak punya muka lagi didepan keluarga Nata, Brianna! Kamu nggak sadar?!"

"Maksud Papa apa?" tanya Bree bingung.

"Kamu sudah menyusahkan keluarga mereka! Kamu tinggal di apartemen Ray selama berhari-hari. Kamu juga menumpang Ray setiap sekolah? Mau ditaruh mana muka Papa? Kamu itu lahir dari keluarga Geraldi! Papa sanggup membiayai kamu! Apa jadinya kalau orang-orang diluar sana tahu kamu bergantung dengan orang lain? Mereka akan anggap Papa sebagai orang yang gagal membiayai anaknya!"

Ucapan Geraldi sukses membuat Bree tertohok. Papanya masih saja menganggapnya beban yang selalu mempermalukan keluarga.

"Terserah Papa," jawab Bree menyerah. Ia sudah tak memiliki tenaga untuk melawan lagi. Hatinya sudah terlalu sakit untuk mendengar ocehan pedas yang akan keluar dari mulut papanya bila ia melawan.

Di depan, supir pribadi Bree sudah menunggu. Bree segera masuk kedalam mobil. Ia mengambil ponselnya, mengirim pesan pada Ray, untuk tidak usah menjemputnya kesekolah hari ini.

***

"Bree?"

Ray menegakkan tubuhnya yang tadi bersandar di pagar sekolah begitu melihat Bree turun dari mobil. Gadis itu menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya.

Merasa tak digubris, Ray berjalan cepat mendekati Bree. Ia meraih pergelangan tangan gadis itu,  hingga langkah Bree tertahan.

"Kamu kenapa?" tanya Ray. Bree begitu aneh hari ini. Ia tiba-tiba mengirim pesan agar Ray tidak usah menjemputnya. Dan sekarang, gadis itu datang ke sekolah dengan tatapan sendu.

"Nggak papa," jawab Bree, tersenyum. "Ayo masuk!"

Ray hanya diam, mengikuti langkah Bree. Ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh saat ini, karena ia merasa, Bree masih belum ingin menceritakan masalahnya.

Tiba-tiba, tubuh Bree linglung. Gadis itu menghentikan langkahnya sejenak, berusaha untuk menghalau rasa pusing yang secara tiba-tiba menyerangnya. Namun tak lama, kesadarannya hilang.

WITH LOVE, BRIANNA. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang