6. WHO WILL FIX ME NOW?

53 4 0
                                    

"Phoenix ga papa bu, Ibu gak usah ke Jakarta. Kan ada Bude Rina sama Pakde Galih, Genaro juga jagain Phoenix terus kok bu.."

"Tapi Nduk, Ibu khawatir banget. Ibu sudah kasih tahu mas mu juga, dia gak kalah khawatirnya lho sama ibu"

Ini, ini yang Phoenix sama sekali tidak suka. Semua orang seperti panik akan keadaan dirinya, terlebih lagi ibunya.

"Udah bu, paling satu dua hari lagi Phoenix udah bisa pulang. Ibu gak usah cemas lagi ya.."

Setelah perbincangan jarak jauh dengan Ibunya selesai, Phoenix kemudian duduk sambil memeluk lututnya diatas ranjang. Ia menangis sejadi-jadinya. Sendirian.

Sebelumnya, setelah Bu Laras pamit untuk kembali ke kantor, tidak lama setelah itu Prof. Harry datang. Sudah menjadi rutinitasnya untuk mengunjungi pasien rawat inap yang berada dibawah pengawasannya sehari sekali.

"Halo neng, kok sendirian?" Prof. Harry menyapa Phoenix, satu suster mendampingi dibelakangnya dengan membawa map putih rekam medis Phoenix.

"Hehe gak papa kok Prof, barusan ada atasan saya datang jenguk" Jawab Phoenix.

"Atasan kamu? pagi-pagi begini? wah pasti kamu karyawan kesayangan dia ya?"

"Ah Prof bisa aja, engga kok.."

Raut wajah Prof. Harry yang semula ramah berubah serius sekarang, membuat jantung Phoenix kembali berdebar kencang. Belum juga setengah hari sudah jantungan dua kali, pikirnya. Ini adalah rekor.

"Phoenix, berdasarkan hasil uji laboratorium sampel darah dan CT scan yang diambil waktu kamu di UGD kemarin, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan.." Prof. Harry mengambil map dari tangan suster dan membacanya.

"Sepertinya kamu harus melakukan MRI besok, kemungkinan ada bakteri dibatang otak kamu sehingga kamu jatuh dan membentur lantai. Sejauh ini kamu hebat bisa menahan, biasanya ini disertai sakit kepala yang cukup hebat" kata dokter yang sudah senior tersebut pada pasien mudanya.

"Bakteri Prof? Lalu lupusnya sendiri gimana perkembangannya?" tanya Phoenix, telapak tangannya mulai basah oleh keringat gugup.

"Lupus kamu memang sedang aktif, dan dari sampel urin terlihat Lupus kamu sudah menyerang ginjal. Apakah ada ruam dikulit?" raut wajah Prof. Harry sangat sulit ditebak kali ini.

Phoenix mengangguk seraya melipat lengan baju panjangnya sampai siku dan juga celana panjangnya sampai lutut.

Note: Sorry for disturbing pictures guys.

Note: Sorry for disturbing pictures guys

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Prof

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Prof. Harry menghela nafas panjang melihat kondisi pasien dihadapannya. "Okay sementara kamu saya berikan obat oral dan injeksi melalui infus, dan tindakan MRI besok". Prof. Harry menepuk punggung tangan Phoenix.

"Lupus itu kuncinya happy, kalau kamu happy, otomatis Lupus kamu akan lebih mudah dikendalikan. Nah, sekarang tinggal gimana kamunya biar happy? cuma kamu yang tau" Lalu dokter itu kemudian pamit pergi.

------

Phoenix : Bill, gimana kantor? aman?

Sabilla: Aman, lo ga usah pikirin kerjaan lah. Fokus pemulihan dulu aja ya, Nix. Nanti sore gue kesana after office, mau dibawain sesuatu?

Phoenix: Gak usah repot-repot, Bill. Gue ga napsu makan.

Phoenix mengirim pesan kepada Sabilla, hari sudah siang menjelang sore. Dengan remote tv ditangannya, Phoenix merubah channel dengan malas.

"Ah elah kenapa tayangan ga ada yang bagus gini sih?"

Ia menghela napas dengan kasar kemudian meraih ponselnya. Teringat akun mas Terang yang belum maksimal ia jelajahi, Phoenix memilih membuka intagram untuk mengusir rasa bosan dan menetralkan pacu jantungnya yang sedari tadi sudah bekerja keras.

"Lo harus happy, Nix. Harus!" gadis itu menyemangati diri sendiri.

Setelah menyelami akun artis muda itu cukup lama, segaris senyuman terpancar dari wajahnya. "ganteng.." gumamnya.

Tiba-tiba ia mendapatkan sebuah ide, ia akan mengirim direct message ke akun milik Bright yang berpengikut lebih dari Empat Juta itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiba-tiba ia mendapatkan sebuah ide, ia akan mengirim direct message ke akun milik Bright yang berpengikut lebih dari Empat Juta itu. Bright memang benar-benar sedang bersinar sangat terang sekarang.

"Phoenix...Phoenix...sakit emang bisa bikin otak lo setengah gila ya" serunya sambil terus mengetik pesan dan mengirimnya kepada idola barunya tersebut.

"Kalau ada Empat Juta pengikut dan setengahnya ngirim pesan barengan sama gue sekarang, berarti?" Gadis itu lagi-lagi membanting ponselnya ke kasur.

"Dua Juta akun ngirim pesan ke Bright??? ooo my God ini sih lebih mungkin si Gen keterima dikantor gue dibanding gue dinotice sama artis".

Phoenix kemudian membaringkan tubuhnya dengan kesal, sambil memandang langit-langit kamar rumah sakit. Ingin sekali rasanya ia menumpahkan keluh kesah yang seharian ini bertubi-tubi menimpanya. Tapi, pada siapa?

"Kalau Genaro gue suruh bawa buku jurnaling gue dari kostan, yang ada nanti dia malah ngintip isinya lagi, enak aja" dengus Phoenix yang masih bermonolog.

Lagi-lagi ide aneh singgah diotaknya, berdesakan dengan rentetan masalah yang lebih dulu memenuhi pikirannya.

"Aha!" Phoenix tersenyum sangat lebar, seakan Bright Chivari sedang tersenyum menatapnya dari langi-langit.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Phoenix di kampung halamannya, Jogjakarta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Phoenix di kampung halamannya, Jogjakarta

MY PRETTY MELODYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang