"Daebaaaaak!"
Sabila menganga lebar dengan mata berbinar sesaat setelah mendengar rentetan cerita Phoenix dikamarnya malam itu. Phoenix sengaja mengundang Sabila dan Alesha datang ke kamar kost nya sepulang mereka dari kantor, tentu dengan maksud menceritakan apa yang terjadi tadi pagi.
"Terus, kenapa muka lo kayak ga happy gitu sih, Nix?" tanya Alesha, satu tangan nya meraih gorengan tahu isi yang ia beli dalam perjalanan menuju kemari.
"Iya ih! Gue nih ya kalau jadi lo, gue bakal ngadain syukuran ngundang semua tetangga. Biar pada ngira nya gue dilamar si Bright hihihi.."
Satu kertas tisu bernoda minyak bekas gorengan dilempar Alesha ke wajah Sabila.
"Heuuu lo sih emang kecentilan."
Sabila menjulurkan lidahnya kearah Alesha.
"Tapi Nix, lo...beneran ga pa-pa? i mean..gue cuma khawatir sama kondisi lo kalau nanti kecapekan, itu doang.." tersirat kekhawatiran pada kata-kata Alesha barusan. "Satu sisi gue dukung lo banget, secara ga mungkin juga kan lo cuma mendekam dikamar selama cuti? gue tau itu pasti boring banget, nanti yang ada lo makin overthinking dan Lupus lo tambah parah."
"Bener, Nix! Gue setuju sama Lele. Intinya, selagi itu bikin lo happy dan positif, kita pasti ngedukung lo kok." sambung Sabila.
Phoenix hanya tersenyum ala kadarnya. Jujur perasaan nya kini makin campur aduk. Mungkin benar yang dikatakan Sabila tadi, tidak seharusnya dia berwajah muram. Phoenix senang, bahkan kalau bisa diintip isi hatinya kini seperti sedang ada karnaval pasar malam yang sangat heboh dengan kembang api meletup-letup. Tapi entah kenapa wajahnya justru menunjukkan sebaliknya, seperti ada sesuatu tak kasat mata yang masih mengganjal dihatinya.
Tapi apa?
"Nix, lo boleh fokus sama kesehatan fisik lo, tapi jangan lupa kalau kesehatan mental juga gak gak kalah penting." Imbuh Alesha.
Akhirnya gadis itu pun bisa tersenyum agak lebar, "Hehe thanks a lot ya guys. Support dari kalian berarti banget buat gue." sahut Phoenix. "Dan Insha Allah gue akan baik-baik aja. Kalian ga usah khawatir. Gue akan selalu taat protokol kesehatan khusus Odapus kok, yang kemarin itu cuma kecolongan aja hahaha." jawabnya meringis.
"Bener ya? Lo janji sama kita buat jaga diri?Kecolongan lo itu bahaya tau!" seru Sabila, satu telunjuknya mengarah ke wajah Phoenix.
"Iya iya janji. Bri juga udah tau kok tentang kondisi gue itu, dan dia juga janji bakalan hati-hati."
"Eh..Bentar-bentar, Bri? Lo bahkan udah punya panggilan sayang ke dia? idiiiihhhh.." ledek Alesha sembari bergidik ngeri.
"Heeeh panggilan sayang gundul mu! dia yang minta dipanggil begitu, katanya biar gampang."
Alesha dan Sabila pun kompak manggut-manggut.
"Kasihan dia, udah beberapa minggu di Jakarta tapi belum pernah kemana-mana." sambung Phoenix, "Lagian..itung-itung ini bentuk rasa terima kasih gue ke dia karena udah nyelametin nyawa gue." Phoenix tertunduk pada kalimat terakhirnya.
Alesha dan Sabila tersenyum lega sambil menggenggam jemari Phoenix yang masih tampak gendut karena membengkak.
*****
Setelah mendapat wejangan panjang dan lebar dari Pakdhe Galih dan juga Budhe Rina, Bright dan Pak Antoni pun akhirnya pamit untuk pulang.
Diperjalanan, Pak Antoni beberapa kali melirik canggung kearah Bright yang duduk disampingnya di dalam mobil. Ia memperhatikan sikap tuan mudanya yang tengah fokus pada layar ponsel nya itu takut-takut. Mode diam seorang Bright memang agak menyeramkan. Wajah serius dan kedua alis yang tegas memberikan kesan galak. Ditambah lagi Bright belum mengucapkan sepatah kata pun sejak keluar dari rumah Genaro.

KAMU SEDANG MEMBACA
MY PRETTY MELODY
Fanfictie(BUKAN CERITA BL) Obat dari segala penyakit adalah hati yang gembira :) Note: Cuma mau mengingatkan kalau cerita ini hanya fiktif dan untuk hiburan semata. Aku tidak bermaksud menyinggung siapapun dan pihak manapun 🤍 Jangan lupa untuk Vote dan Kom...