Full of Regret

979 89 0
                                    

Sudah terhitung tiga hari sejak kepergian Jevin dan Salsa sama sekali tidak keluar dari kamarnya. Bukan hanya fisik, pikirannya pun kacau. Sangat kacau. Ia sama sekali tak menyangka, kebimbangan akan perasaaan membuatnya harus kehilangan Jevin.

Dengan sorot lemah Salsa memandangi kotak kecil berwarna hitam diatas mejanya. Ia sedang memikirkan apa ia harus untuk membukanya atau tidak. Salsa masih belum siap. Ia tak siap menerima kenyataan bahwa Jevin pergi darinya. Selain itu, ia takut bahwa isi kotak itu akan malah akan lebih menyakitinya.

Salsa menghapus air matanya yang sejak tadi luruh, ia menggapai kotak hitam itu. Salsa menghembuskan nafas, berusaha menguatkan diri. Ia membuka kotak itu dengan pelan. Mata Salsa memanas saat hal pertama yang ia lihat didalam kotak itu adalah sebuah kunci yang Salsa kenal. Dibawah kunci itu, terdapat surat yang dilipat dengan rapih.

Salsa membuka surat itu dengan tangan gemetar. Mempersiapkan diri untuk rasa salit berikutnya.

To : Salsa

Aku pergi. Maaf nggak sempat berpamitan dengan benar. Susah, Sa, untuk ninggalin kamu.

Kamu tau kan ini kunci apa? Kalo kamu punya waktu, dateng kesana sendirian ya? It's okay if you won't.

Dan terakhir, I love you, Alika Salsabila.

Jeju

Air mata Salsa luruh, ia bangkit dan buru buru keluar rumah dengan kunci pemberian Jevin ditangannya.

***

Salsa membuka knop pintu dengan tangannya yang mulai berkeringat dingin. Saat terbuka, matanya terpaku pada dinding yang biasanya berisi polaroid acak kini tidak ada lagi, tergantikan oleh polaroid yang menampakkan gambar dirinya dengan ekspresi yang beraneka ragam.

Salsa ingat tiap momen dalam foto itu. Gambar yang dipojok kiri itu adalah ketika ia menertawakan perdebatan Yohan dan Dirga di kantin. Dibawahnya, saat Salsa mengomel karena Jevin memilih film horror saat mereka menonton di rumah Salsa. Jevin seperti membuat Salsa kembali ke masa lalu hanya dengan sebuah gambar dirinya sendiri.

Ingatan tentang bagaimana seringnya Jevin memegang ponsel saat mereka menghabiskan waktu terputar dibenak Salsa. Sering kali Salsa marah karena hal itu.

Jadi ini alasannya?

Pandangan Salsa terhenti pada foto yang berada tepat didepannya. Itu adalah saat mereka menghabiskan waktu di air terjun. Saat itu Salsa terkagum kagum akan keindahan air terjunnya. Itu adalah saat terakhir mereka menghabiskan waktu bersama.

Salsa jatuh terduduk sambil memeluk dirinya sendiri. Isakan pilu keluar dari bibirnya yang biasanya tersenyum riang. Saat mendongak, Salsa melihat sebuah kertas yang tertancap di antara foto foto dirinya.

Salsa bangkit dari duduknya lalu mengambil surat itu. Tulisan rapi Jevin menyapa pandangannya bersamaan dengan pandangannya yang mengabur.

Untuk Alika Salsabila

Kamu udah liat fotonya?
Kamu keliatan cantik nggak peduli gimanapun ekspresi yang kamu tunjukin.

Kalo kamu suruh aku ngomong sebanyak kamu, aku nggak akan bisa. Aku nggak tau harus ngomong apa. Karena beginilah aku.

Yang bisa aku lakuin cuma dengerin setiap ocehanmu yang aku pikir selalu menghibur. Cuma bisa merhatiin setiap gerak gerikmu dalam diamku.

Kamu ingat saat terakhir kali aku ajak kamu ke studio ini? Saat itu aku mau tunjukin semua ini sama kamu. Tapi aku terpaksa harus ngebatalin itu, karena kamu sedang sama dia.

Saat kamu bohong untuk pertama kalinya, aku tahu, Salsa. Aku diam karena aku pikir kamu punya alasan. Tapi ternyata kebohonganmu berlanjut. Kamu nggak salah. Ini semua memang harus terjadi.

Dengan ini aku tau kalo kita memang nggak lagi bisa searah. Kamu lebih butuh Nathan yang penuh warna dibanding aku yang monokrom.

Aku baru sadar gimana bodohnya aku yang berpikir bisa bikin kamu tau bahwa aku sayang kamu lewat perlakuanku. Kamu perlu pernyataan dan aku nggak kasih itu untuk kamu.

Dengan ini aku bilang, I love you, Alika Salsabila.

Aku pergi bukan karena kamu. Aku pergi karena memang aku harus.

Bahagia sama Nathan ya, Sa. Dia cowok baik.

Dan tentang studio ini, aku serahin ke kamu. Ini milik kamu sekarang karena aku pikir kamu suka sama studio ini.

Jevin,

Kepala Salsa terasa berputar. Ia memegangi kepalanya setelah menjatuhkan surat itu. Hingga akhirnya, semuanya gelap.

***

Mata Salsa terbuka, ia menoleh ke sekelilingnya. Ia meringis ketika menyadari dirinya masih berasa di ruangan ini. Studio foto Jevin. Ia bangkit dan duduk di sofa yang biasa ia duduki bersama Jevin. Pandangannya menerawang momen momen yang ia habiskan bersama Jevin.

Pacaran dengan laki laki seperti Jevin itu istimewa. Meskipun tempat yang selalu mereka gunakan untuk menghabiskan waktu hanya studio foto, rumah Jevin, dan rumahnya, Salsa tidak pernah bosan sedikitpun. Terkadang Salsa akan memaksa Jevin untuk mengantarnya ke mall meski cowok itu terus menggeleng menyatakan tidak mau.

Senyum di bibir Salsa terbit. Ia terus tersenyum saat mengenang momen momen indah itu.

Jevin yang ia pikir acuh ternyata tidak. Yang ia pikir tidak mencintainya ternyata begitu mencintainya. Itu semua hanya karena Jevin diam.

Dan sekarang, Salsa benar benar kehilangan Jevin. Tiba tiba, Salsa yang biasanya mengomel ketika Jevin terlalu bisu kini menginginkan kebisuan Jevin untuk tetap disisinya. Ia ingin Jevin kembali mendengarkan ocehan tidak bergunanya.

Tak apa jika Jevin diam saat ia mengajaknya bicara. Tak apa jika Jevin diam saat ia mengomel. Tak apa. Asal Jevin tetap disisinya.

Air mata Salsa kembali luruh, ia memeluk dirinya sendiri lalu menunduk menahan isak.

Ditempat lain, seorang laki laki duduk bersandar di kursi balkon hotelnya sambil menatap langit dengan tangan yang menggenggam sebuah foto.

CUDDLES : The Warmest Hug Ever!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang