Rasa Bersalah?

1K 81 0
                                    

Bibir Salsa terus terkatup rapat bahkan ketika Yohan mengejeknya. Pandangannya hanya menatap kebawah sambil menahan sesak didadanya. Rindu yang terpendam selama empat tahun belakangan ini seakan menerobos ingin keluar.

"Lo nambah minum nggak, Sa?" ucapan Dimas membuat Salsa mendongak kekiri, tempat Dimas berada.

Salsa menggeleng sambil tersenyum tipis.

"Pesen aja, Sa, masih lama juga kan pulangnya?" ucap Kevin.

Salsa mengangguk, "Lemon Tea aja."

Dimas mengangguk lalu berlalu untuk memesan seluruh pesanan bersama Dirga.

"Lo empat taon ke Amerika bukannya makin banyak ngomong malah makin banyak mingkem!" sindir Yohan pada Jevin.

Jevin hanya tertawa renyah, lalu menyedot minumannya yang sisa setengah gelas.

"Lah malah ketawa!" Yohan menyenggol Kevin dengan sikunya, "Kasih ide dong, Vin, buat ulang tahunnya Nabila."

Iya, Yohan akhirnya mendapat respon baik setelah dua tahun mengejar Nabila tanpa celah.

Kevin memutar bola matanya malas, "Ngapain nanya gue? Tanya Olin sana."

Olin yang sejak tadi hanya mendengarkan kini memasang wajah sangarnya, "Nggak."

Mata Yohan tiba tiba berbinar saat menatap Salsa, "Lo aja, Sa. Biasanya Nathan ngasih lo apa pas ulang tahun?"

Salsa mendongak terkejut, "Bunga?" tanya Salsa balik.

Yohan berdecak, "Yang lain lah, bunga udah terlalu mainstream."

Salsa hanya mengedikkan bahu acuh lalu menyedot minuman yang baru saja tiba bersamaan dengan Dimas dan Dirga.

"Gue ke toilet," Salsa bangkit dari tempatnya lalu beranjak pergi.

"Ikut, ingus gue melorot terus," ucap Olin lalu segera menyusul Salsa.

Ucapan Olin seketika membuat yang lainnya bergidik jijik, "Jangan dibilang juga, Ayam!" pekik Yohan kesal.

***

Olin mengusap punggung Salsa yang terus menangis. Sudah dua puluh menit mereka berada didalam toilet, yang lainnya pasti sedang memaki mereka habis habisan.

"Empat tahun lo kayak gini. Mau sampe kapan?"

Salsa menggeleng tak tahu.

"Hadapin Jevin sekarang atau lo nggak akan terbebas dari masalah ini."

Salsa menggeleng lagi, kali ini lebih lemah, "Gue nggak bisa."

"Jevin bakal balik ke Amerika dua hari lagi. Untuk menetap."

Salsa mematung.

"Selesaiin urusan lo selagi dia disini."

Olin menepuk punggung Salsa sekali lagi lalu pergi.

***

Entah kanapa langkah Salsa bisa sampai terhenti disini. Ke bangunan yang pernah menjadi tempatnya saat perempuan paling bahagia hingga menjadi perempuan paling menyedihkan yang penuh akan penyesalan.

Studio foto.

Kalian pasti tahu studio foto seperti apa itu. Bangunan itu masih sama. Bangunan dengan cat dominan putih beserta jendela dan pintu yang seluruhnya kaca. Pemandangan sawah yang tetap menyejukkan meski setengahnya sudah ditanami beton beton raksasa.

Salsa membuka knop pintu dengan jantung yang memompa keras, ia masih saja takut dengan bayang bayang Jevin yang selalu menghantuinya setiap memasuki bangunan ini.

Rasanya Salsa hampir terjengkang ke belakang saat melihat seorang laki laki yang tengah menatap lurus ke hamparan sawah itu. Ia kenal siapa laki laki itu, pemilik asli studio ini, Jevin.

Jevin menoleh, kentara sekali diwajahnya bahwa ia juga terkejut meski langsung menutupinya dengan senyum tipis.

Senyum itu.

"Maaf," kata Jevin sembari berjalan mendekat.

Kening Salsa mengerut, "Untuk?"

"Dateng ke studio ini tanpa izin lo mungkin?" jawab Jevin ragu.

"Atau karena pergi," tambah Jevin.

Salsa diam. Hatinya masih belum siap membahas topik ini. Dan tak akan pernah siap.

"Seminggu lagi gue balik."

"Kenapa?"

Dahi Jevin mengerut, "Apa?"

"Kenapa lo pergi?"

Jevin diam. Ia menatap manik mata Salsa lekat.

"You said that you love me, so why did you let me go?"

"I never let you go, Sa. I let you to decide." Jevin menatap mata Salsa dengan sorot yang tak bisa Salsa baca, "Dan kamu udah memutuskan."

Salsa memasang raut bingungnya, "Kapan?"

"Kemarin."

Salsa mematung, "Apa kamu—"

Ucapan Salsa terpotong oleh tawa Jevin yang kentara sekali dipaksakan, "Maaf lagi karena udah ngikutin kalian kemarin."

"Ju, aku—" ucapan Salsa terpotong oleh gerakan cepat Jevin yang langsung mendekapkanya. Dalam dekapannya, Jevin membisikkan sesuatu yang benar benar Salsa takutkan.

"I love you, Alika Salsabila. Mungkin ini waktunya, to let you go."

Setelah empat tahun, akhirnya Salsa kembali merasakannya, merasakan pelukan hangat nan menenangkan yang hanya Jevin yang punya. Salsa mengeratkan pelukannya seolah membiarkan rindu yang selama ini ia kubur paksa menerobos keluar.

Menyadari maksud ucapan Jevin, Salsa melepaskan pelukannya, "Aku nggak pernah mutusin apapun. Kita seharusnya nggak kayak gini. Aku salah karena bohong. Aku minta maaf, tolong jangan pergi," ucap Salsa menahan air matanya.

Jevin menggeleng lalu mengambil tangan Salsa untuk ia genggam, "Pikirin ini, kamu minta aku tetep disini karena apa?" Jevin memberi jeda pada ucapannya, "Karena kamu memang benar benar butuh aku, atau karena kamu merasa bersalah udah bohong sama aku?"

Salsa bungkam. Ia tak tahu jawabannya.

Jevin mengelus lembut puncak kepala Salsa, "Kamu ngerawat tempat ini dengan baik. Makasih ya," Jevin melepas genggamannya lalu beranjak menuju pintu keluar, "Aku duluan, kayaknya kamu nginep disini lagi. Malam, Sa."

Jevin pergi, menyisakan Salsa dengan pikiran yang semakin berkelana jauh.

CUDDLES : The Warmest Hug Ever!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang