Selesai

988 82 2
                                    


Keenam laki laki disebuah tempat yang mereka sebut basecamp bungkam. Terkejut akan kabar mendadak yang dibawa Jevin beberapa detik yang lalu. Sedangkan Jevin hanya menatap teman temannya untuk meyakinkan.

"Nggak!" seru Yohan keras, "Ngapain jauh jauh?!" ucap Yohan tak terima.

Dirga yang biasanya menjadi musuh bebuyutan Yohan mengangguk setuju, "Enak aja lo habis bikin nyaman langsung ninggalin?!"

Steve yang turut andil atas keputusan Jevin bicara, "Kita nggak bisa maksa Jevin untuk nggak pergi."

Kevin mengangguk, "Masih di bumi kan?" tanya Kevin setengah bercanda.

"Tapi jauh," Dimas memelankan suaranya.

"Jevin punya alasan kuat," jelas Steve membantu Jevin yang benar benar kehabisan kata kata, "Lagian dibelahan manapun kita berada, kita bakal tetep kayak gini."

Yohan mendelik, "Jev, jangan bikin gue nyantet lo beneran deh biar nggak pergi!"

Jevin mengangkat kepalanya, "Maaf baru bilang sekarang. Gue nggak mau bikin situasi rumit."

Kevin menatap Jevin, "Berapa lama?"

"Secepatnya gue balik."

Semua mengangguk kecuali Yohan yang duduk membelakangi Jevin. Sama sekali tak mau manatap Jevin.

"Farah tau? Dia baru aja nyampe seminggu yang lalu," ucap Kevin.

"Beberapa hari ini gue udah ngasih dia pengertian. Kayak yang lo tau, Farah agak 'susah'."

"Terus Salsa?"

Pertanyaan Dimas membuat Jevin membeku. Sudah seminggu mereka tidak bertemu kecuali di kelas. Mereka semakin jarang berkomunikasi meski keduanya tetap memasang kedok baik baik saja.

Jevin mengambil ponselnya dimeja lalu mendial nomor Salsa. Seseorang yang sejak satu minggu ini selalu ia pikirkan. Setelah menunggu beberapa detik, suara seorang perempuan menyapanya. Membuat Jevin seakan kembali menemukan hidupnya.

"Halo, Jeju? Kenapa?"

"Lima belas menit lagi aku sampe."

"Okay."

Lalu Jevin memutus panggilannya, "Gue pergi," katanya dan dibalas anggukan oleh yang lainnya sedangkan mata Steve menatap Jevin sendu.

***

Sepasang kekasih terduduk diam dibangku taman. Jevin menggenggam tangan Salsa lembut namun tidak bersuara sejak tadi. Mereka sibuk dengan pikiran masing masing hingga lupa sudah berapa lama mereka disana.

"Kamu nggak nungguin Farah di apartemennya?" tanya Salsa.

"Aku cuma perlu nungguin dia beberapa kali."

Salsa mengangguk anggukkan kepalanya, "Kamu kenapa minta ketemu mendadak?"

Jevin menatap Salsa lekat, "Pengen."

Salsa memutar bola matanya malas, "Begitu terus."

Jevin terkekeh lalu mengelus lembut puncak kepala Salsa, "Makasih."

Alis Salsa terangkat, "Untuk apa?"

Jevin menggeleng.

"Kamu mau bilang sesuatu?" tanya Salsa curiga.

Jevin menatap Salsa dengan sorot yang masih tak bisa Salsa baca.

"Nggak," jawab Jevin.

"Terus kenapa?" tanya Salsa lagi.

"Kangen."

Sepersekian detik, Salsa sudah berada dalam hangatnya dekapan Jevin yang masih membuat dadanya berdetak hebat.

"Aku juga."

Dan malam itu, Jevin kembali gagal memberitahu Salsa. Jika biasanya ia gagal karena Salsa yang selalu sibuk saat diminta bertemu, sekarang ia gagal karena tak mau senyum Salsa luntur karenanya. Seperti yang pernah ia ucapkan pada Steve, senyuman Salsa memang sungguh membuatnya gila.

Selain itu, ia rasa kepergiannya tak akan menyakiti Salsa untuk waktu yang lama. Atau bahkan tidak akan menyakiti Salsa sama sekali? Karena mungkin, Jevin bukanlah orang yang benar benar Salsa butuhkan. Sama sekali.

***

Siang ini Jevin dikejutkan oleh Jenira yang merengek meminta ditemani menonton film untuk terakhir kalinya bersama Jevin. Jevin hanya terkekeh menikmati setiap permintaan manja Jenira yang bertambah berkali kali lipat dari biasanya. Jevin terus mengusap puncak kepala Jenira lembut sambil mengekor dibelakang Jenira yang terlalu antusias memborong semua alat make up disana.

"Jeju kalo disuruh beliin make up sama cewek disana jangan mau," ucap Jenira.

"Kenapa?"

"Nggak boleh!"

Jevin terkekeh kecil, "Iya iya."

Jenira sibuk memilih make up sedangkan Jevin duduk di kursi pojok ruangan sambil memainkan ponselnya. Jevin mengangkat panggilan yang baru saja masuk ke ponselnya.

"Kenapa, Far?"

Terdengar suara isakan kencang dari sebrang sana, "Aku nggak bisa pura pura lagi. Aku nggak bisa biarin kamu pergi. Jangan pergi," ucap Farah memohon.

Jevin bungkam beberapa saat lalu berucap, "Aku ke apartment kamu sekarang."

Jevin menjelaskan semuanya pada Jenira yang dijawab, "Aku nanti minta jemput Kak Steve aja. Jeju pergi aja nggak papa."

Jevin memohon maaf berkali kali lalu berlalu meninggalkan Jenira.

Saat di parkiran, ponselnya berdering lagi, "Kenapa, Sa?"

"Aku pengen makan sandwich deket taman. Anterin ya?"

Jevin menghembuskan nafasnya lelah, "Aku harus ke apartment Farah, Sa."

Salsa diam untuk beberapa detik, "Pacar kamu Farah atau aku sih, Jev?"

"Bukan gitu, tapi—" ucapan Jevin terpotong.

"Kamu bahkan nggak pernah bales aku ketika aku bilang I love you ke kamu. Kenapa? Apa sesulit itu? Sedangkan dulu saat kamu teleponan di rumah Kevin sama Farah, dengan gampangnya kamu bales ucapan Farah!" suara Salsa terdengar sedikit membentak.

"Maaf, Sa. Aku harus pergi."

"Kalau gitu kita putus!"

Salsa memutuskan panggilan, membuat Jevin tiba tiba merasa lemas hingga menjatuhkan ponselnya. Namun dengan sekuat tenaga, ia mengemudikan mobilnya menuju apartment Farah. Adiknya yang rapuh.




Hi guys! 

ini bukan ending yaa, so stay tune untuk menunggu kelanjutannya!

love you!

CUDDLES : The Warmest Hug Ever!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang