Bagian 14

10 3 0
                                    

Putri merasa sudah malas pergi ke butiknya, sebab dia tahu Izhar akan pasti mengikutinya sampai butik. Bukankah restoran tadi sangat dekat dengan butiknya. Jadi, dia memilih untuk pulang saja ke rumah, untuk urusan butik dia sudah mempercayakan kepada pegawainya.
 
Putri memasuki rumahnya dengan mengucapkan salam, dilihatnya rumah kosong. Mungkin Ayahnya sedang pergi ke rumah temannya untuk bisnis. Dasar memang Ayahnya Putri, umur boleh sudah menua tapi jiwa bisnisnya tak akan bisa memudar.

Putri berjalan ke arah dapur untuk mencari makanan, sungguh dia masih lapar. Gara-gara Izhar yang menganggunya jadi makanan yang dia pesan tak habis semua.

Kalau diingat tentang Izhar, Putri jadi merasa kasihan. Putri tak menyangka kalau ternyata Izhar punya rasa lebih selama ini. Bukan kehendak Putri untuk menolak orang yang sebaik Izhar, tapi bagaimana lagi perasaan bukanlah suatu paksaan. Kita tak dapat memilih kepada siapa hati ini berlabuh. Putri hanya bisa berdoa semoga Izhar bisa mendapatkan orang yang lebih baik yang bisa mencintainya apa adanya dan setulus hati.

"Bi, ayam di kulkas masih ada gak?" tanya Putri ketika mendapati salah satu ARTnya tengah berkutat membersihkan piring.

"Ada, Putri," jawab ART itu, "memangnya Putri mau apa?"

"Saya mau masak, Bi. Saya mau bikin sup." Kali ini Putri memang berniat membuat sup ayam dengan tanganya sendiri. Jangan ragukan Putri dalam bidang masak-memasak, sebab dia pernah ikut kursus masak. Jadi, memasak bukanlah suatu perkara yang sulit baginya.

"Sini. Biar Bibi saja yang memasak, Putri tinggal duduk di situ saja.'' Sang ART berusaha menawarkan dirinya saja yang memasak, dia merasa tak enak dengan anak sang majikan.

"Gak papalah, Bi. Lagian Putri mau bikin sup ini buat Ayah juga. Ayah suka benget kan sama sup buatan Putri."

Sang ART tak dapat melawan lagi, jadi dia hanya membiarkan Putri untuk memasak sesuka hatinya. Sesekali dia hanya membantu Putri untuk mencuci ayam atau sayur untuk supnya.

Hanya butuh waktu kurang dari 1 jam untuk Putri untuk membuat sup ayamnya. Kini dia telah menyajikan sup itu di meja makan. Setelah semua tertata rapi, Putri melirik jamnya yang menunjukkan sudah pukul 02.30 siang. Dia berpikir ke manakah Ayahnya. Biasanya Ayahnya selalu pulang sebelum jam 2 siang.

Putri tetap menunggu sang Ayah yang belum pulang juga. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 04.00 sore. Putri yang sedari tadi sudah khawatir malah bertambah khawatir lagi. Mana ponsel Ayahnya tak kunjung pula di angkat.

Putri yang menyadari sudah memasuki waktu Ashar langsung segera mengambil air wudhu. Sekalian nanti sehabis sholat dia ingin berdoa semoga pikiran buruk yang ada di benaknya untuk sang Ayah tidak menjadi kenyataan.

Tok ... tok ... tok!

Setelah selesai sholat tiba-tiba salah satu ARTnya mengetok pintu kamarnya sambil memanggil namanya.

Dengan tergesa Putri beranjak untuk membukakan pintu. Kali aja ARTnya ingin mengabarkan kalau sang Ayah sudah pulang.

"Ayah sudah pulang yah, Bi?" Putri bertanya dengan antusias.

"Bu–bukan, Put. Ta–tapi tadi bibi dapat telpon kalau Bapak kecelakaan."

''Hah!" Putri yang mendengarnya langsung syok, hancurlah hatinya mendapati kenyataan itu. Sekarang dia sudah tak dapat mencegah air matanya yang tiba-tiba sudah menyeruak keluar. "Terus Ayah ada di mana, Bi?"

"Ada di rumah sakit Permata, Putri."

Setelah mendengar nama rumah sakit itu, Putri langsung bergegas menyusul. Dia kelihatan kalang kabut sekali. Dia bahkan sempat memarahi sopir yang disuruhnya untuk mengantarkannya ke rumah sakit sangat lambat. Walaupun Putri dalam keadaan syok, tapi akal cerdasnya masih berfungsi, dia tidak ingin mengemudikan mobil sendiri apalagi dalam keadaannya yang begini, bisa-bisa berakibat fatal.

🖤💍

Di lain sisi, Rafly sedang memikirkan matang-matang keputusannya untuk melamar Nidya. Setelah waktu hampir sebulan, mereka sudah dekat karena seringnya komunikasi saat di kantor. Lagian Rafly juga meyakini Nidya adalah wanita yang sangat baik, sopan dan taat agama. Jadilah di sini mereka, Rafly dan Nidya, di sebuah resto yang tak jauh dari kantor. Tak hanya berdua, tadi Nidya juga sudah mengajak Chika, namun Chika sedang permisi ke toilet.

Dengan perasaan gugup Rafly memulai pembicaraan. "Nid. Saya mau ngomong sesuatu."

Entah kenapa Nidya merasa jantungnya berdetak dengan cepat. Nidya seperti sudah bisa menebak apa yang ingin diucapkan oleh Rafly, itu terlihat dari tatapan tulusnya.

"Ngomong apa?" Nidya berusaha bertanya, walaupun dia sudah bisa menebak. Tapi dia tidak mau kepedean terlebih dahulu.

"Saya—"

Kalimat yang ingin diucapkan oleh Rafly tiba-tiba terpotong oleh suara Chika yang sudah balik dari toilet.

"Huuhh ... sudah lega," ucap Chika.

Chika sudah duduk anteng di kursinya. Rafly pun kembali ingin mengucapkan kalimat yang harusnya dia ucapkan. Biarkanlah Chika mendengarnya, agar bisa menjadi saksi bahwa Rafly bersungguh-sungguh akan ucapannya itu.

"Saya—"

Kali ini ucapan Rafly kembali terpotong oleh suara ponsel yang ada di saku celana Rafly. Rafly berusaha sabar dengan orang yang mengganggunya di waktu yang tidak tepat.

Rafly mengernyit saat melihat nama yang menelponnya. Walaupun begitu dia tetap mengangkatnya.

"Assalamualaikum." Rafly memulai dengan mengucapkan salam. Namun, setelah beberapa detik wajahnya sudah berubah cemas ketika mendengar suara tangisan di ujung telepon. "Oke ... aku akan ke sana."

Rafly langsung beranjak dari duduknya dan langsung berpamitan kepada Nidya dan Chika.

Nidya yang melihat itu langsung tertunduk lesu, apakah dia boleh kecewa?

Assalamualaikum
Gimana nih ceritanya?
Semoga suka yaa
Jangan lupa dukung cerita ini dengan cara vote dan komen di bawah

Follow akun instagram saya yaa
@nrfauziah2

Selamat Hari Raya Idhul Adha
Taqabalallahu minna waminkum🙏😇

Istikharah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang