Bagian 12

10 2 2
                                    

Sudah hampir sebulan Nidya bekerja di perusahaan tersebut. Nidya merasa bersyukur karena tidak ada masalah apapun selama dia bekerja.

Karena hari ini weekend, jadilah Nidya mencari udara pagi sambil berjalan-jalan kecil. Kegiatan itu dia lakukan setiap weekend.

Nidya berjalan sendiri sambil menikmati cahaya mentari pagi yang menyehatkan. Dia memandangi orang-orang yang juga sama sepertinya menikmati mentari pagi.

Di lain sisi, ternyata Rafly juga memanfaatkan akhir pekan untuk berolahraga. Dia berolahraga di taman sekitar rumahnya.

Rafly tak lupa membawa sepedanya. Setiap Rafly melewati gadis-gadis yang berkumpul. Maka gadis-gadis itu pun berteriak histeris, karena tak tahan dengan pesona Abshor Rafly Fransakti.
Rafly pun tak terlalu menanggapinya, dia hanya terus mengendarai sepeda menuju taman.

Rafly tak menepis kalau dirinya memang penuh pesona, bahkan di kantor saja banyak fans-fansnya. "Nasib orang ganteng," batin Rafly. Rafly tertawa akan batinnya itu, gak papa lah pede sedikit.

Setelah sampai, Rafly hanya menuntun sepedanya memasuki kawasan taman. Bisa dilihatnya taman tersebut hampir penuh, sebagian berolahraga dan mungkin sebagiannya hanya untuk menikmati jajanan.

Tak lama penglihatan Rafly menangkap sileut seseorang yang sangat dikenalnya. Dari jauh Rafly bisa melihat seseorang tersebut sedang duduk di salah satu kursi taman. Dia memakai baju olahraga syar'i yang membuat kesan anggun di mata Rafly.

Rafly berniat ingin menghampiri seseorang itu. Dia akan membuatnya terkejut. Rafly terkekeh pelan akan jiwa usilnya. Dengan langkah pelan dia mendekati orang itu, setelah jarak mereka hanya tersisa lima langkah Rafly sengaja menepuk kedua tangannya di belakang kepala orang itu. Alhasil orang itu terkejut dan langsung menoleh.

"Astaghfirullah. Ngagetin aja kamu, Raf. Saya kira siapa?" Protes orang itu yang tak lain ialah Nidya.

"Hahahahahahahah." Rafly tertawa, namun suara tawanya dia redam dengan tangannya. Setelah tawanya reda, Rafly melirik Nidya yang memasang wajah kesal. "Maaf yah, Nid. Jiwa usil saya berkoar."

"Huhh ... kamu, Raf." Nidya memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia masih mempertahankan wajah kesalnya, padahal hatinya sedang menahan getaran dahsyat yang ditimbulkan oleh Rafly. Apalagi ketika dia melihat Rafly tertawa, sungguh Rafly begitu menawan.

"Masih kesal yah? Ya sudah sebagai permintaan maaf saya, saya akan traktir kamu jajan deh."

"Jajan?"

"Iya. Mau kan, kebetulan saya juga sedang ingin makan sesuatu."

Nidya tampak memikirkan usulan Rafly. Ingin menolak, tapi tak enak. Ingin menerima, juga tak nyaman. Apalagi mereka hanya berdua.

Setelah memikirkan matang-matang, Nidya akhirnya menyetujuinya. Segera Rafly mengarahkan Nidya ke stand-stand para pedagang.

Pilihan Rafly jatuh pada bubur ayam yang tak terlalu padat oleh pembeli. Setelah memesan dua porsi, Rafly dan Nidya duduk di kursi plastik yang sudah disediakan.

Mereka tak hanya berdua, meja itu terdapat 4 kursi yang mana semua kursi telah terisi.

Sambil menunggu pesanan mereka, Rafly menanyakan tentang Nidya, sekaligus memecah kecanggungan yang ada.

Saat pesanan mereka sudah dihidangkan, mereka memakannya dalam diam. Rafly yang duluan habis, hanya bisa menatap Nidya. Kebetulan Nidya posisi duduknya berada di depannya. Diamatinya wajah Nidya lamat-lamat, "selalu cantik." Hanya itu yang selalu diucapkan batin Rafly. Rafly lalu tersenyum tipis masih dengan mengamati Nidya.

Nidya kini sudah menghabiskan buburnya. Dia seperti sedang diperhatikan, lalu kepalanya terangkat dan bertemu dengan mata hitam Rafly. Dia bisa melihat seulas senyum tipis menghiasi wajah Rafly yang mampu menularkan ke dirinya.

"Sudah?"

Nidya awalnya bingung, Rafly bertanya apa. Namun, setelah mata Nidya menangkap Rafly yang menatap mangkok bekas buburnya, barulah dia paham.

"Iya, Raf. Saya sudah selesai."

"Baiklah. Kalau begitu saya mau bayar dulu." Rafly berjalan ke arah pedagang bubur tersebut lalu mengeluarkan uangnya. Ketika pedagang itu ingin mengembalikan kembalian, Rafly menolak.

Perbuatan Rafly itu pun tak luput dari penglihatan Nidya. Dia merasa, rasa kagumnya bertambah ketika melihat sisi dermawan Rafly.

"Sungguh beruntung yang menjadi istri Rafly kelak. Ya Allah, apakah aku bisa menjadi salah satu orang yang beruntung itu?" Batin Nidya.

"Ayo."

Suara Rafly menginterupsi pendengaran Nidya yang membuatnya tertarik dari dunia lamunan.

"Kemana?" Nidya hanya bertanya, dia tidak mengerti maksud ayo yang diucapkan Rafly. Ayo pulang atau ayo pergi ke tempat lain.

"Pulang lah. Kamu emangnya mau pergi ke mana lagi? Lagian yah, matahari sudah mulai panas."

"Eng–enggak. Saya juga mau pulang."

"Ya sudah, saya akan menemani kamu sampai seperempat jalan itu yah."

Nidya hanya mengangguk menanggapi ucapan Rafly. Nidya sudah tak tahan dengan jantungnya yang makin berpompa cepat ketika berada di sekitar Rafly. Apakah Nidya akan kena serangan jantung jika begini terus?

🖤💍

Assalamualaikum
Gimana ceritanya?
Semoga bermanfaat dan menghibur yah
Jangan lupa dukung cerita ini dengan cara vote dan komen di bawah.
Jazakumullah Khairan

Jangan lupa follow akun instagram saya

@nrfauziah2

Istikharah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang