Bagian 8

17 3 6
                                    

Putri sekarang tengah bersiap-siap untuk pergi menuju butik. Dengan semangat dia menuruni anak tangga untuk mencapai lantai bawah. Sesekali dia bersenandung ria.

"Wih anak ayah udah rapi banget. Mau ke mana?" tanya Rian, saat mendapati anaknya yang sudah menenteng tas dan di tangan kanannya sudah ada kunci mobil.

"Biasalah, Yah. Mau ke butik."

Putri lalu mendekat ke Rian, untuk pamit lalu mencium punggung tangan ayahnya.

"Kamu gak sarapan?" Bukan sarapan sih sebenarnya, karena jam sudah hampir pukul 10.

"Enggak deh, Yah. Putri mau berangkat aja. Soalnya Putri sudah ada janji sama klien Putri."

"Oh, yaudah. Kamu hati-hati di jalan yah, nak." Ucapan Rian hanya diangguki oleh Putri. "Ingat jangan ngebut saat bawa mobil!"

"Iya ... iya. Ayahku tercinta dan tersayang." Putri langsung mencium pipi sebelah kanan ayahnya. "Pergi dulu ya, Yah."

🖤💍

"Halo semua." Putri menyapa seluruh karyawan yang ada di butiknya. "Oh, yah. Klien yang pesan baju pengantin semalam sudah datang belum?"

"Baru lima menit dia pergi lagi, Mbak. Katanya ada urusan penting. Terus dia bilang kalau ketemuannya di kafe yang baru itu loh, Mbak," jawab salah satu karyawan Putri.

"Oh ... oke, makasih. Aku akan ke sana."

🖤💍

Setelah sampai di kafe tempat pertemuan dengan klien. Putri langsung duduk di salah satu meja. Dia memesan Royal Hot Chocolate setelah memanggil waitress. Sambil menunggu minumannya datang, Putri membuka ponselnya. Tidak ada yang menarik di ponselnya jadi dia meletakkan ponselnya kembali.

Selang beberapa menit minuman yang dipesannya diantarkan bersamaan dengan kliennya yang juga datang. Putri pun kini tengah asyik melayani keinginan sang klien.

2 jam kemudian sang klien pamit undur diri. Sekarang tinggalah Putri sendiri di meja tersebut.

"Assalamualaikum."

Suara lelaki memasuki pendengaran Putri yang membuatnya refleks mendongak mencari sumber suara tersebut.

"Rafly. Eh ... Waalaikumussalam." Putri terkejut ketika mendapati Rafly lah yang mengucapkan salam tadi. "Duduk Raf."

Rafly duduk di kursi seberang Putri. "Kamu apa kabar?'' Tanya Rafly dengan senyum sedari tak pernah hilang.

"Baik, alhamdulillah. Kamu apa kabar juga?" Putri juga menjawabnya dengan senyum tak kalah manis. Sampai-sampai Rafly sempat terpesona dengan senyum itu.

"Aku alhamdulillah juga baik. Kamu banyak berubah yah.''

"Pasti tambah cantik 'kan? Imut juga 'kan?"

Rafly terkekeh dengan pernyataan Putri yang terlampau sangat percaya diri. "Pede banget sih kamu?''

"Iya dong. Kita ini harus selalu percaya diri agar tidak ada orang yang mencoba menindas dan meremehkan kita."

Jawaban yang diberikan Putri membuat Rafly lagi-lagi tersenyum. Rafly tidak menyangka kalau Putri yang dulu tidak jauh berbeda dari sekarang. Bahkan wajahnya masih saja cantik dan imut seperti masih belasan tahun.

Kepribadiannya pula tak jauh berbeda dari dulu, selalu bisa membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Eh-nyaman, berarti Rafly pernah merasakan itu? Rafly lalu menggelengkan kepalanya menghalau pikiran yang macam-macam.

Melihat Rafly yang menggelengkan kepalanya, sontak Putri pun bertanya, "kenapa kepalanya, Raf? Sakit yah?"

Rafly membelalak kaget, Putri ternyata masih sama polosnya seperti yang dulu. Rasanya Rafly ingin mencubit pipi Putri yang lebih chubby saking gemasnya. Astaghfirullah, tapi bukan mahram.

"Raf!"

Suara Putri yang memanggilnya membuat Rafly tersadar. "A-apa?"

"Raf!"

Rafly menautkan alisnya, kenapa dengan Putri. "Iya?"

"Raf!"

"Iya, Put. Kenapa?"

"Aku kayaknya--''

"Kayaknya apa?" Rafly tambah penasaran.

"Aku kayaknya lagi merah nih!"

"Hahh??" Rafly terkejut atas ucapan Putri. Merah maksudnya apa yah?

"Rafly tolong belikan pembalut boleh?"

"Hahh??" Lagi-lagi Rafly terkejut, dia tidak salah dengarkan. Dia disuruh membeli barang punya wanita. Malunya itu loh?

Karena melihat Rafly masih cengo, Putri kembali berucap, "please, Raf. Kamu mau aku berdosa karena tembusanku terlihat oleh orang lain. Kamu juga berdosa loh, Raf karena membiarkannya."

Astaghfirullah, Rafly jadi lemas sendiri. Masih dengan gerakan lambat dia mulai berdiri.

"Ehemm ... belinya di mana?" Baru nanya di mana membelinya, muka Rafly sudah memerah karena malu.

"Itu di seberang kafe kan ada minimarket. Beli di sana, ada kok!"

Rafly mengangguk. "Oh, i-iya."

"Raf?" Rafly kembali berbalik ketika Putri memanggil namanya. "Jangan lupa beli yang bersayap yah, Raf! Jangan lama-lama juga."

Kalau boleh menghilang Rafly akan menghilang dari sini juga. Tapi ketika melihat binar mata Putri yang mengharapkan bantuannya, dia jadi tak tega.

"Huftt ... lumayanlah latihan sebagai suami siaga! Ehh--" batin Rafly.

🖤💍

Assalamualaikum
Gimana ceritanya?
Semoga suka dan bermanfaat yah
Jangan lupa dukung cerita ini dengan cara vote dan komen di bawah

Jangan lupa follow instagram saya
@nrfauziah2

Istikharah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang