Kau sedang bersih-bersih rumah siang ini. Tiap dua minggu sekali, kau rutin membersihkan rumahmu secara keseluruhan. Mulai dari dalam hingga luar rumah, dari depan sampai belakang, semuanya harus bersih. Dulu, ketika Woo Jae masih kecil, Woo Jin-lah yang melakukannya setiap kali kantornya libur.
Sekarang, setelah Woo Jae menginjak sepuluh tahun, kau kembali mengambil alih tugasmu. Meski kadang, Woo Jin masih mau membantumu.
Saat menyapu kolong ranjang milik Woo Jae, kau menemukan sebuah kardus berukuran sedang di sana. Kau yang penasaran, akhirnya menarik kardus tersebut. Kau langsung membukanya dan mendapati mainan-mainan Woo Jae sewaktu masih kecil. Bola plastik berwarna hijau, kelereng, robot-robotan, mobil-mobilan, dan masih banyak lagi ditaruh dalam kardus itu.
Senyum terukir di bibirmu menyadari bahwa Woo Jae sudah tumbuh dengan baik. Dia tidak lagi menggunakan mainan-mainan seperti ini untuk bersenang-senang. Woo Jae berkembang persis seperti ayahnya. Tampan, dan berbakat.
"Eommaaa..."
Kau meletakkan kembali mainan Woo Jae dan melangkah keluar kamar. Woo Jae menghampirimu seraya melepas dasi sekolahnya.
"Eomma coba tebak ada berita apa dariku?"
Kau terheran-heran melihat Woo Jae yang berbinar-binar wajahnya. Kaupun memasang tampang pura-pura berpikir.
"Apa ya? Beritahu eomma sajalah. Eomma tidak pintar menebak."
"Ck, eomma tidak seru. Ayolah eomma. Jangan langsung menyerah begitu."
Woo Jae memasukkan dasinya dalam tas dan membawanya ke kamar. Melewatimu dengan ekspresi masam. Otomatis, kau yang gemas dengan tingkah putramu itu ikut menyusulnya ke kamar.
"Woo-"
"Eomma, ini apa?"
Usai menaruh tas sekolahnya, Woo Jae meraih beberapa mainan di kardusnya sembari duduk di lantai. Mengamati satu persatu barang yang lain juga.
"Mainanmu, tidak ingat?"
Kau mengambil tempat di sebelahnya.
"Woah. Aku juga punya ketapel? Apa yang kulakukan dengan mainan ini?"
Woo Jae menarik asal tali ketapel yang dia pegang. Dia tampak antusias dengan benda tersebut.
"Kau pernah menggunakan ketapel itu untuk mengusili appa. Terkena pantatnya waktu itu, saat dia sedang mengecat pagar kita."
"Apanya yang kena pantat, eomma? Kerikil?"
"Tentu saja."
Tak bisa dibendung lagi gelak tawa kalian berdua ketika membayangkan kejadian itu.
"Pasti appa sangat marah padaku."
"Nooo. Appa memelukmu dan menciumi pipimu dengan gemas lalu kalian tertawa."
Jelasmu seraya menahan tawa. Sedangkan Woo Jae mendadak terdiam. Kau menyenggol lengannya karena berulang kali kau panggil tidak menyahut.
"Kenapa sayang?"
Woo Jae memandangimu dengan lesu. Seperti ada yang ingin dia katakan namun dia tidak mampu.
"Cerita pada eomma."
Kau meyakinkan putramu sekali lagi.
"Eomma. Seandainya aku tidak pandai dalam bidang akademik, tapi aku ikut club menyanyi, apakah appa dan eomma mengizinkan?"
Ya Tuhan. Hampir saja kau merasa jantungan dengan kejujuran Woo Jae. Kau mendekat guna merangkulnya.
"Kau ikut club menyanyi?"
Woo Jae mengangguk. Kau tersenyum.
"It's okay, Woo Jae. Kau tahu, dulu appa adalah penyanyi juga. Dia pernah menjadi anggota sebuah boyband lalu menjadi penyanyi solo. Setelah menikah dengan eomma, appa berhenti dan fokus mengurus perusahaan."
"Benarkah eomma?"
Kau lagi-lagi mengangguk.
"Coba saja nanti kau tanyakan langsung pada appa, sekalian minta izin padanya. Eomma yakin, appa tidak keberatan."
"Baiklah eomma."
Kau mengacak surai Woo Jae.
"Sekarang, ganti baju jangan lupa cuci tanganmu. Setelah itu kau makan ya. Biar eomma bersihkan dulu kamarmu."
.
"Woo Jin, bisa tolong antarkan susu ini ke kamar Woo Jae? Aku harus ke toilet."
Woo Jin yang telah mengenakan kaos berwarna putih itu mengangguk. Kau segera menyodorkan segelas susu cokelat untuk Woo Jae padanya. Kemudian masuk ke kamar mandi selagi suamimu bergegas mendatangi kamar putra kalian.
Kau mengintip selepas Woo Jin keluar, sebenarnya kau hanya pura-pura ke toilet supaya Woo Jae dapat mengobrol dengan sang ayah. Kau ingin mereka bercengkerama setelah berbulan-bulan mereka seakan berjauhan akibat kesibukan Woo Jin di kantor.
.
Tepat ketika Woo Jin masuk, Woo Jae menutup buku-bukunya dan membereskan alat tulisnya.
"Sudah selesai jagoan?"
Woo Jae menoleh lalu tersenyum melihat sang ayah. Woo Jin menaruh gelas di tangannya di meja belajar Woo Jae.
"Iya, baru saja. Oh ya, appa, aku ingin bertanya sesuatu padamu?"
"Katakan saja, Woo Jae-ya."
Woo Jin meringis menyaksikan raut tegang pada wajah Woo Jae. Sedangkan bocah sepuluh tahun itu terdiam sejenak. Merasa apakah benar ini waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya pada ayahnya.
"Um, begini appa. Kemarin, aku ada kelas kesenian, kami satu kelas diharuskan bernyanyi satu persatu di depan kelas. Dan tadi pagi, guru kesenian menawariku untuk mengikuti ekstrakurikuler menyanyi. Aku bilang kalau aku perlu minta izin pada appa dan eomma terlebih dahulu. Jadi, apakah appa memberiku izin?"
Woo Jin mengernyitkan dahinya sembari menatap Woo Jae dalam. Jangan tanyakan bagaimana perasaan Woo Jae sekarang, luar biasa takut.
"Jika appa tidak mengizinkan, tidak apa-apa-"
"Kau bisa berjanji satu hal pada appa?"
"Iya?"
Woo Jae mengigit bibir bawahnya.
"Appa mengizinkanmu mengikuti ekstra menyanyi, tapi dengan catatan, kau tidak boleh mengabaikan akademikmu. Appa tidak menuntut kau harus menjadi nomor satu, tapi setidaknya, kau harus bisa mengimbangi diri untuk fokus pada keduanya. Bisakah?"
Mata Woo Jae terbuka maksimal. Dia bangkit dari duduknya lantas memeluk Woo Jin.
"Terimakasih banyak appa. Aku janji, aku tidak akan melupakan nilai akademikku."
Woo Jin membalas pelukan Woo Jae sambil mengacak rambutnya. Tiba-tiba Woo Jae melepaskan diri dan mengambil sesuatu dari balik laci. Sebuah ketapel.
"Jika aku mengingkari janjiku, appa boleh menghukumku dengan ini. Lakukan seperti yang aku lakukan dulu pada appa."
Ucap Woo Jae riang, tentu saja Woo Jin heran, bahkan merebut ketapel tersebut. Ia mengamati seperti baru melihat pertama kali.
"Kau ingat kejadian itu?"
"Dari eomma."
Mereka berdua tertawa, kau yang sejak tadi menguping juga turut terkekeh karenannya.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kim Woojin Imagines (Completed)
Short StoryIni salah satu caraku mengekspresikan rasa sayang serta dukunganku untuk Kim Woojin. Dimanapun kamu sekarang, apapun yang kamu lakukan, aku harap kamu selalu sehat dan bahagia, Woojin. Aku tidak akan lupa dengan kamu beserta kenangan darimu. Terim...