"Woo Jae, eomma mau ke toko roti. Kau ikut atau di rumah?"
Kau membuka pintu kamar Woo Jae yang tidak ditutup sempurna oleh pemiliknya. Dan tampilah buah hati kesayanganmu itu dengan gadget kesayangannya. Tumben sekali anak itu melewatkan tidur siangnya, batinmu bersuara.
Woo Jae langsung bangkit dari posisi tidurannya, mengubahnya menjadi duduk demi menghadapmu.
"Untuk appa?"
Kau mengangguk, ini tanggal tujuh bulan empat. Kalian berdua hafal besok adalah hari penting bagi Woo Jin.
"Sekalian kau beli spicu kesukaanmu? Ayo, nak."
Tawarmu. Namun siapa sangka, Woo Jae tampak tidak antusias dengan ajakanmu. Dia malah berdiri, menarikmu agar duduk di kasurnya, sementara Woo Jae memilih mendekatkan kursi belajarnya padamu sebelum mendudukinya. Woo Jae tiba-tiba memamerkan gadget miliknya yang sejak tadi setia dia pegang.
Bisa kau saksikan dengan jelas gambar apa yang dimaksud Woo Jae.
"Rainbow cake? Kau mau membelikan appa kue itu?"
"Bukan eomma. Kita membuatnya sendiri."
Kau mengamati baik-baik wajah putra tercintamu. Semenjak insiden 'lembur dadakan' itu, Woo Jae jadi tertarik dalam urusan memasak. Kadang kau sampai khawatir, apakah Woo Jae akan mengganti cita-citanya menjadi musisi dengan koki.
"Sekali-kali eomma. Tidak apa-apa kan?"
.
Karena rencana dadakan Woo Jae, kalian berdua mau tak mau harus tetap pergi ke swalayan terdekat untuk membeli beberapa bahan yang dibutuhkan. Kau yang ingat kebutuhan bulanan yang habis, tak lupa membeli barang tersebut.
Sepanjang berbelanja, beberapa pengunjung lain berhasil kau pergoki memandang ke arah Woo Jae. Mungkin mereka menyadari bahwa Woo Jae terlihat begitu menyetarai wajah ayahnya. Seperti Woo Jin versi kecil. Terang saja, tidak ada yang mengumbar pernikahanmu dan Woo Jin, sehingga jika suatu saat ada kejadian semacam ini, kau tidak heran.
Meski Woo Jin tak lagi bernyanyi di hadapan publik, kau yakin, masih ada penggemar suamimu yang bertebaran di luar sana. Tetapi kau memilih cuek saja pada mereka, kau berpikir lebih baik menghindari yang namanya kehebohan.
"Eomma, apa kau akan tetap memberikan appa kado?"
"Um, entahlah. Eomma tidak kepikiran tentang itu, sayang."
Kau meraih lima buah sabun mandi kemudian memasukkannya ke dalam keranjang yang didorong Woo Jae.
"Saranku, karena kue itu kita buat sendiri, bisa dijadikan kado juga, eomma. Uang kado bisa dipakai untuk keperluan lain. Tapi aku tidak memaksa, eomma. Sungguh hanya memberi saran."
Kau menahan tawa melihat tampang Woo Jae yang sedikit takut. Dia baru berumur sepuluh tahun, namun pemikiran Woo Jae menyamai pemuda berusia duapuluh tahun. Entah dari mana Woo Jae mendapat pemikiran sebaik itu. Dia seperti rem yang bisa membantumu mengatur keuangan.
Terlebih kalian termasuk keluarga berkecukupan. Kendati demikian, kau tidak merasa kalau kau sedang digurui oleh anakmu sendiri. Woo Jae hanya mengutarakan isi otaknya tanpa sebuah paksaan.
"Saranmu bagus, Woo Jae. Jangan takut."
.
Lagi-lagi kau tercengang ketika Woo Jae memintamu hanya memandu langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk membuat kue. Dia bilang tugas utamamu cukup mencicipi kue buatannya.
"Tahun depan dan seterusnya, kalau kue ini enak, biarkan aku yang membuatnya. Eomma tinggal belanja dan mencicipi nantinya."
Kau tak merespon ucapan Woo Jae dan mencomot potongan kue yang sengaja Woo Jae sisihkan sebelum dihias.
"Luar biasa. Sudah berapa lama kau mempelajari resep ini, Woo Jae?"
Woo Jae tersenyum. Dia masih mengoleskan krim putih pada kuenya. Ini mengejutkan. Woo Jae belum pernah mencoba membuat kue tapi rasanya seenak buatan toko roti walau baru pertama kalinya.
.
"Appa pulang."
Kau dan Woo Jae hanya saling tatap. Woo Jae lalu mengedipkan sebelah matanya ke arahmu yang sudah membawa rainbow cake buatan Woo Jae untuk diberikan pada pahlawan kalian yang berulang tahun beberapa jam lagi. Beruntunglah Woo Jin tidak lembur, sehingga kau tak perlu khawatir ia akan bangun terlambat besok.
"Sepi sekali, Woo Jae? Sayang?"
Kau bisa mendengar Woo Jin berbicara sendiri karena tak kunjung menemukan keberadaan kalian. Ketika pintu kamarmu, tempat dimana kalian berada sekarang, hampir dibuka, kau mengkode Woo Jae agar sedikit menjauh. Lalu saat pintu benar-benar terbuka, kau dan Woo Jae kompak menyanyikan lagu selamat ulang tahun.
Woo Jin tampak kaget sesaat kemudian dia menutupi wajahnya karena malu.
"Tiup lilinnya, appa."
Woo Jin meniup lilin yang membentuk angka empat puluh itu.
"Terimakasih atas kejutannya."
"Coba ini kuenya, buatan Woo Jae sendiri tahu."
Woo Jae mengambil pemotong kue yang sejak tadi dia taruh dalam kantong celananya. Benar-benar anak itu.
"Benarkah? Wah, kau bakat jadi koki juga ya ternyata."
Woo Jin memotong kue tersebut lalu mencicipinya. Woo Jae seketika teringat sesuatu.
"Oh, appa. Kado eomma katanya ingin memberi adik untuk Woo Jae."
Celutuk bocah sepuluh tahun itu riang, Woo Jin tersedak.
"Siapa yang mengajarimu, Nak?"
Woo Jae tersenyum polos.
"Halmeoni, appa."
.
.
.
![](https://img.wattpad.com/cover/198665398-288-k339520.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kim Woojin Imagines (Completed)
Короткий рассказIni salah satu caraku mengekspresikan rasa sayang serta dukunganku untuk Kim Woojin. Dimanapun kamu sekarang, apapun yang kamu lakukan, aku harap kamu selalu sehat dan bahagia, Woojin. Aku tidak akan lupa dengan kamu beserta kenangan darimu. Terim...