Who Are You?

262 41 6
                                    

Kau menyunggingkan senyum terbaikmu ketika kau melihat Woo Jin baru saja keluar dari ruang ganti. Kini dia tampak lebih tampan dari biasanya. Ya, dia sedang mengenakan tuxedo yang akan kalian kenakan di hari pernikahan kalian yang akan berlangsung enam hari lagi.

Entah mengapa, meski kau sudah sering memandangi wajahnya, kau merasa tak pernah merasa bosan. Selalu mempesona bagimu. Sembari mengangkat sedikit ekor gaunmu yang cukup merepotkanmu, kau menghampirinya dari arah yang berbeda.

"Tampannya kekasihku."

Ucapmu riang, Woo Jin hanya menarik sedikit sudut bibirnya. Kau mengerti.

"Bagaimana denganku, Woo Jin?"

Kau memutar tubuhmu pelan agar tak sampai membuat repot dirimu sendiri.

Ekspresi Woo Jin berubah seketika, dia terlihat terkejut mendapat pertanyaan simpel darimu. Bahkan beberapa orang yang berada di ruangan itu, yang ambil andil mengurus baju pernikahan kalian secara otomatis terdiam. Menantikan pujian yang akan dilemparkan Woo Jin kepadamu.

Woo Jin berdeham. Menyadari banyak pasang mata memperhatikan kalian.

"Cantik."

Singkat, padat dan jelas. Padahal anganmu tadi Woo Jin akan memujimu berlebihan seperti pasangan yang akan menikah pada umumnya.

Tidak. Seharusnya kau bersyukur dia mengatakannya. Bukankah itu keluar dari mulutnya secara natural?

Meski kecewa, kau tetap menggumamkan terimakasih. Dan fokus orang-orang kembali pada semula. Tak terkecuali Woo Jin yang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Lain denganmu yang terus menatapnya dalam.

.

"Disini rupanya?"

Woo Jin menoleh ke belakang, mendapati dirimu mendekatinya. Kau mengambil duduk di sampingnya.

"Apa kau masih perlu waktu sendiri? Aku mengganggumu tidak?"

Tanyamu disambut gelengan Woo Jin. Kau mengehela nafas panjang. Mengikuti arah pandang calon suamimu yang menerawang ke langit yang beranjak senja.

Jujur saja, kau tak bisa menahan diri lagi. Mendapat perlakuan semacam ini dari kekasihmu sendiri selama kurun waktu dua tahun bukan persoalan mudah. Tidak sampai kau berhasil mengajaknya menikah.

Ketika kau mundur beberapa tahun kebelakang, rasanya menyisakan kepedihan mendalam. Woo Jin yang dulu menyatakan cintanya kepadamu pertama kali, bukan Woo Jin yang saat ini kau hadapi. Dia pemuda yang ramah dan penyayang.

Tetapi semua berubah manakala Woo Jin mengalami kecelakaan yang mampu merenggut sebagian ingatannya. Hanya orang-orang tertentu yang masih melekat dalam memorinya.

Bukan orangtuanya atau dirimu, melainkan mantan kekasih Woo Jin sendiri yang sudah meninggal.

Pertama mengetahuinya, jelas kau merasa hancur. Kau bahkan tak sanggup menemui Woo Jin selama berminggu-minggu. Hingga akhirnya kau memutuskan untuk menjalani semuanya.

Berupaya mengembalikan ingatannya bukan hanya tentang masa lalunya yang sudah tidak bisa diubah lagi. Tapi jika kepada masa kininya, Woo Jin kesulitan mengingatnya, bagaimana bisa kalian memulai masa depan?

Apakah akan baik-baik saja ke depannya?

Kau ragu, pertahananmu mendampingi Woo Jin sedang goyah. Dikikis luka di hatimu atas sikapnya yang seolah berpura-pura bahagia bersamamu. Cintamu yang menjadi kekuatan terbesarmu untuk terus menemaninya, tampaknya mulai rapuh sekarang.

Dengan cepat, kau menghapus sendiri air matamu. Semoga Woo Jin tak melihatnya, pikirmu.

"Woo Jin, aku ingin bertanya satu hal."

Woo Jin mengalihkan pandangannya padamu. Tatapan mata itu, yang dulu pernah meluluhkan hatimu, entah mengapa bisa menusukmu juga.

"Selama dua tahun ini, sejak aku bilang bahwa aku kekasihmu, apa kau bisa mencintaiku?"

Perih. Demikian gambaran kondisi hatimu saat ini.

"Mengapa kau bertanya begitu?"

Itu bukan pernyataan dari seseorang yang merasa kesal diragukan perasaannya, itu lebih mirip tekanan yang dia tunjukkan menurutmu.

Kau mendongakkan kepala, enggan menghadap Woo Jin bersamaan cairan bening menyusuri pipimu.

"Karena sejatinya, aku tidak merasakan bahwa kau benar-benar mencintaiku Woo Jin. Bukan aku tidak bersyukur, aku lebih sakit melihatmu seolah-olah terpaksa menjalani hubungan ini denganku."

Kedua telapak tanganmu menutupi wajahmu, menyembunyikan tampilanmu yang tak karuan oleh air mata.

"Apalagi yang kau ingat adalah dia. Aku terluka, Woo Jin. Kenapa harus dia? Kenapa bukan aku yang jelas ada bersamamu? Apa aku tak layak bagimu? Aku pikir, aku harus tetap memperjuangkanmu, karena aku mencintaimu. Aku ingin membuatmu bahagia. Tetapi semakin lama, kau membuatku mengerti, bahwa aku yang egois disini. Aku terlalu memaksamu. Sampai-sampai itu menghancurkanku sendiri."

Bahumu bergetar, isakan itu akhirnya muncul darimu. Semua yang kau pendam selama dua tahun, tergali sudah.

"Maaf Woo Jin, tidak seharusnya aku menyalahkanmu begini. Tapi sungguh, sepertinya aku tidak sanggup lagi. Mungkin sebaiknya kita batalkan saja pernikahan ini. Sebelum terlanjur datang harinya, kita masih bisa mengakhiri hubungan ini bukan? Ini yang terbaik untuk kita. Aku akan bicara pada orangtua kita."

Kau berdiri, berniat meninggalkan Woo Jin guna menemui orangtuamu. Merealisasikan keputusan sepihakmu. Saat kau sudah mencapai lima langkah, kau berhenti sesaat. Kemudian berbalik dan kembali menghampiri Woo Jin yang tidak berpindah tempat sama sekali.

Kau mendekatkan wajahmu padanya yang tetap bertampang datar. Namun kau tak peduli, dan untuk pertama kalinya, kau berani mencium Woo Jin. Pada bibirnya, beberapa detik, sebagai ucapan perpisahan.

Bisa saja ini pertemuan terakhir kalian bukan?

Mendadak keberanianmu tadi meredup, apa yang baru saja kau lakukan? Kau memundurkan wajahmu.

"Maaf."

Ucapmu canggung sebelum kembali memutar tubuh. Kali ini, Woo Jin mencekal pergelangan tanganmu yang spontan membuatmu membeku. Tiba-tiba tangan Woo Jin yang bebas melingkari lehermu. Tubuh kalian nyaris menempel. Bahkan hembus nafasnya terasa di belakang telingamu.

"Jadi mau menyerah, Nyonya Kim? Yakin?"

Bisiknya. Tanpa basa-basi lagi, kau menghadapnya lagi.

"Maksudmu?"

Woo Jin tersenyum. Senyum paling manis yang dia pamerkan lagi setelah dua tahun lamanya kau tak melihatnya. Tuhan, dia sukses mengacak-acak hatimu. Woo Jin menyelipkan rambutmu ke belakang telinga sebab menutupi wajahmu akibat terpaan angin.

"Bagaimana mau menjadi istriku kalau kau lemah begini, hm? Aku jadi tak tega berbohong lebih lama."

Kau menatapnya tajam. Antara bingung dan marah.

"Maksudnya kau sudah ingat denganku?"

Dan dengan santainya Woo Jin mengangguk.

"Sejak enam bulan yang lalu sebenarnya. Tadinya, kalau mengungkapnya sewaktu hari pemberkatan kita, itu akan menjadi kejutan. Kejutan atas kesabaranmu, keajaiban karena cintamu. Tap-"

Kau memeluk Woo Jin erat. Kau terharu. Disana, Woo Jin tertawa lantas membalas pelukanmu. Sesekali keningmu dikecupnya.

"Kita tetap akan menikah kan?"

Kau melepas tautan tubuh kalian, memukul pundaknya.

"Ya, harus!"

.
.
.







Enak aja nggak jadi nikah. Undangan udah kesebar, baju udah dijahit, catering udah mateng, hiburan udah siap, malah gak jadi nikah🙁. Mau dibekuin apa ini bapak beruang? Guys, aku bener-bener lagi krisis. Aku bisa update ini aja perjuangan. Soalnya sinyal wifinya ngajak berantem. Semoga chap selanjutnya bisa lebih lancar. Kalau misal aku gak up, ya mungkin aku hiatus dulu. Tapi aku pasti up kok kalau emang memungkinkan. Maaf ya🙏.




Kim Woojin Imagines (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang