Galang mengaitkan kembali kancing bajunya yang terbuka setelah ujung besi stetoskop milik Dokter Fadli memeriksa dadanya. Netra elangnya melirik Kala yang duduk di kursi meja belajarnya. Tangan Galang mengadah ke arah Kala, mengode kakaknya agar menyerahkan kembali kotak susu stroberinya yang belum selesai ia minum.
Dokter Fadli datang saat Kala baru saja memberinya sekotak susu sehingga membuat minuman favoritnya kembali dirampas untuk sementara. Kala pun hanya menggeleng pelan dan menunjuk ke arah si dokter, menyuruh Galang untuk mendengarkan dulu.
"Gimana, Dli?" Bima yang sejak tadi berdiri di samping Dokter Fadli pun angkat bicara.
"Hm...kalo dari hasil check up kemarin sih gak ada cedera di otak ya. Apa kamu kebentur sesuatu abis dari rumah sakit?" Dokter Fadli kini menatap Galang.
Galang menggeleng, "Gak ada, Dok. Tapi abis minum obat mualnya ilang, kok." Ujarnya.
Seketika anggukan mantap dari dokter itu membuat seisi ruangan bertanya-tanya. Dimasukannya kembali stetoskop ke dalam tas dan ia berniat menarik Bima untuk bicara di luar kamar.
"Ngomong di luar aja, Bim."
"Disini aja, Dok. Saya juga mau denger, kok." Galang menyahut sebelum mereka keluar kamar.
Baik Fadli dan Bima saling melirik satu sama lain.
"Yakin?" Tanya sang dokter sekali lagi pada Galang.
Anggukan yakin dari Galang akhirnya membuat kedua pria itu kembali berjalan masuk. Si dokter terlihat mengeluarkan selembar kertas dan sebuah pena kemudian mulai menuliskan sesuatu.
"Jadi, gak ada masalah sama badan maupun organ dalam kamu. Tapi ada satu efek dari injeksi morfin yang dosisnya terlalu tinggi disuntikkan terus selama beberapa hari itu. Kamu kecanduan ringan."
Galang mengerut, "Tapi gak sakaw kayak di film-film tuh, Dok?" Galang memotong.
"Iya, kalo sampe sakaw berarti udah kecanduan berat. Kan tadi saya bilang ringan doang. Tapi yang bikin bahaya, gejalanya kamu pake halusinasi. Jadi, ini saya kasih obat kemarin fungsinya buat pengganti morfin tapi bukan zat adiktif."
"Terus kok saya gak kerasa halusinasi ya, Dok?" Galang bertanya.
"Ya namanya juga halusinasi. Susah bedain mana dunia nyata mana yang bukan, disitu bahayanya. Untung kemarin ada Kala, kalo kamu tiba-tiba kumat pas lagi nyetir gimana?"
Galang langsung bungkam. Benar juga. Ia jadi mulai sedikit khawatir. Dalam diam dan dilanjut penjelasan Dokter Fadli yang hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, Galang melirik Bima dan Kala yang terlihat serius dan cukup gusar mengetahui hal ini.
"Makanya, anjuran saya, kalo bisa stay dulu di rumah sampe sudah membaik." Dokter Fadli mengakhiri penjelasannya.
"Kira-kira berapa lama, Dok?" Kala kini berujar.
"Ya tergantung pribadi, bisa seminggu, atau ada yang sampai sebulan."
"Lah! Mana bisa, Dok?! Saya kan kuliah, mana jurusan teknik lagi. Bolos seminggu aja udah kebayang ngulang berapa matkul sama praktikum gini, kalo harus sebulan, DO lah guenya." Ujar Galang setengah emosi sambil melirik Dokter Fadli kesal.
Kala seketika menjitak kepala tak berdosa dari sang pendosa itu, "Ngomong yang bener, dokternya jangan dinyolotin juga kali."
Melihat itu, Dokter Fadli hanya bisa tertawa. Apalagi Galang langsung memalingkan wajah dan cemberut kesal.
"Ya itu terserah kamu, tergantung seberapa sering kumatnya. Kemarin baru yang pertama, kan? Bisa jadi memang sejarang itu, tapi harus tetep hati-hati. Kalo mau masuk kuliah beberapa hari lagi ya gak papa, asal jangan dilepas sendiri lama-lama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Engine Batska ✔
FanficPrinsip Kalandra simpel aja: Mata dibayar mata Tangan dibayar tangan Kaki dibayar kaki Hati juga dibayar hati Tak ada yang menyangka prinsipnya itu membawa Kala menemukan miliknya yang bahkan tak disadari pernah ia miliki. WARNING: CONTAIN MANY HARS...