06. Decision

55 6 0
                                    

Mark berharap semua hanyalah mimpi—mimpi buruk yang mengganggu ketenangan tidurnya.








Mark membuka matanya. Tidak, ia tidak terbangun di kamar tidurnya. Tidak, ia tidak sedang berbaring di kasurnya yang hangat.

Mimpi? Bukan. Ia menatap kenyataan.

Mark menatap gadis di depannya itu. Mark tahu ia harus menelepon polisi. Mark tahu, tetapi ia tidak bisa melakukannya. Menelepon polisi berarti ia harus membiarkan gadis itu dibawa pergi oleh orang asing, ditanya-tanyai hal yang belum tentu ingin ia jawab, dan ia pasti harus kembali mengingat tentang pembunuhan yang terjadi di depan matanya itu. Tidak, Mark tidak bisa melakukannya. Gadis itu mengeluarkan segenap kekuatannya hanya untuk berbicara satu kalimat tadi kepadanya. Bagaimana bisa Mark membiarkannya untuk menjelaskan tentang kejadian tersebut kepada orang lain nantinya, padahal ia sendiri tidak sanggup berbicara?










"Lena," ujar Mark sambil memegang kedua bahu gadis itu. "Lena, dengar aku."

Lena mengangkat kepalanya, menatap Mark dengan pandangan kosong.

"Aku benar-benar nggak tahu harus berbuat apa," lanjutnya. "Tapi, dengar, aku ingin menanyakan satu hal. Kamu cukup mengangguk kalau setuju, dan kamu bisa diam saja kalau memang nggak mau melakukannya."

Mark terdiam sejenak sambil meneguk ludah. Ditatapnya gadis itu dalam-dalam.

"Ayo, kita kabur," ucap Mark, tegas tetapi ia tahu bahwa ia gugup. "Kita larike tempat yang jauh, ke tempat di mana kamu nggak akan pernah mengalami semua ini lagi."

Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Lena mengedipkan matanya setelah perkataan Mark selesai, berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. Dengan harap-harap cemas Mark menatap gadis itu. Ia tidak sepenuhnya yakin dengan apa yang baru saja ia katakan, tetapi ia juga tidak bisa menariknya kembali.

"Aku nggak tahu aku ngomong apa barusan," cetus Mark sambil menundukkan kepalanya. "Aku ... nggak tahu. Kamu mungkin kaget dan mengira kalau aku gila—"

Mark terdiam saat tangan dingin Lena menyentuh lengannya. Ditatapnya gadis itu lagi dengan terkejut.

"Aku ikut," ujarnya lirih.

Mark benar-benar tidak bisa percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

"Kamu ... ikut?" ulang Mark.

Gadis itu menganggukan kepalanya. Kini Mark menatapnya dengan serius.

"Oke, tenang, Mark," gumam Mark pada dirinya sendiri. "Ini gila, tapi kamu harus tenang."

Mark menghembuskan napasnya. "Kamu ... bisa berdiri? Kamu kuat berjalan?" tanyanya kepada Lena.

Lena mengangguk perlahan. "Akan aku coba," ucapnya.

Mark memegang kedua tangan Lena untuk membantunya berdiri. Gadis itu terlihat lemah, tetapi ia berusaha keras agar kakinya kuat menopang tubuhnya sendiri.

Tetap saja Mark mengkhawatirkan dirinya meski kini ia sudah berdiri. Ditatapnya gadis itu dengan sangat cemas, tetapi Lena balas menatapnya dengan tenang.

"Aku nggak apa-apa," katanya, seolah tahu apa yang dipikirkan Mark saat ini.

"Baiklah," ucap Mark, meski ia tahu gadis itu baru saja mengatakan kebohongan. "Pertama, kamu nggak bisa kabur dengan pakaian seperti ini. Bisa-bisa orang salah sangka."

Mark menatap dress putih polos yang dikenakan gadis itu. Di bagian dadanya terdapat beberapa noda darah, tetapi untungnya tidak ada noda di tempat lain selain di situ.

ESCAPE [Mark Lee]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang