12. Every Untold Pieces

53 8 0
                                    

[this part will contain long conversation]

***

Mengapa?

Apa alasannya?





























"Nggak tahu," ujar Lena saat Mark menanyakan harga ramen yang ia beli. "Aku asal ngambil aja."

Mark, yang sedang mengaduk ramen di panci, kembali membuka kantong belanja.

"Roti, kimbap, wafer...." gumamnya. "Ini semua kamu nggak lihat label harganya?"

Lena menggelengkan kepalanya tanpa mengucap apa-apa karena mulutnya saat ini penuh dengan kimbap.

Mark menghela napas. Bukannya ia perhitungan, ia hanya khawatir saja karena uangnya pun sekarang tidak banyak.

"Omong-omong," ujar Lena tiba-tiba. "Rumah ini kayaknya udah lama nggak ditempati. Kenapa bisa masih bersih, bahkan masih terhubung dengan saluran gas?"

"Seminggu sekali ada yang datang ke sini," jawab Mark. "Nenekku bayar orang untuk membersihkan rumah."

Lena hanya manggut-manggut, lalu mengikuti Mark yang sedang membawa panci berisi ramen ke ruang tamu.

"Kita makan ini pakai kimbap aja," ujar Mark. "Nggak ada kimchi."

Mereka duduk di lantai berhadapan. Sebuah meja berkaki rendah digunakan sebagai tempat menaruh panci ramen yang masih mengepul tersebut.

Mereka makan dalam diam, hanya sesekali suara sluurp terdengar saat mereka menyeruput ramen. Mark berusaha makan dengan tenang dan nyaman, namun dirinya serasa memberontak. Ia gelisah dan sangat terlihat dari cara makannya yang terburu-buru itu. Untungnya, Lena seakan tidak memperhatikannya.

"Aku mau tidur," ujar Mark setelah ia menyelesaikan makannya, lalu berbaring begitu saja di lantai. Lena, yang masih sibuk menghabiskan kimbapnya, hanya menatap Mark tanpa berkata apa-apa.

Mark menutup matanya, namun sungguh ia sama sekali tidak mengantuk. Pikirannya kacau balau, tetapi ia tidak tahu harus berbuat apa. Harus diakui bahwa saat ini ia cemas dan takut. Di sisi lain, ia juga bingung setengah mati. Di balik matanya yang tertutup itu ia berusaha menenangkan diri—meski tidak berhasil.



















"Kamu mau dengar ceritaku, nggak?" tanya Mark tiba-tiba.

Lena menoleh ke arah Mark yang masih berbaring di lantai. "Cerita apa?" tanyanya.

"Cerita kenapa aku pindah dari sini, kenapa aku bisa kenal sama Dara, kenapa aku akhirnya pindah ke Seoul dan tinggal sendirian," jawab Mark.

Lena terdiam sesaat, tetapi kemudian menjawab, "Oke. Cerita aja."

Mark membuka mata, namun masih membaringkan tubuhnya di lantai. Ia menatap langit-langit dengan pandangan kosong.

"Dulu ini rumahku," ujarnya memulai. "Aku tinggal di sini. Aku nggak punya kakak atau adik, jadi cuma bertiga sama ibu dan ayahku. Tapi, namanya masih anak kecil, aku juga butuh teman main. Masalahnya, di sini nggak ada anak yang seumuran denganku. Jadi seringkali aku cuma main sendirian, kecuali kalau ayahku pulang cepat, aku bisa main sepeda bersama."

Mark tersenyum sendiri, seakan adegan masa lalu itu terputar lagi di depan matanya.

"Yah, kayak kebanyakan anak-anak lain, aku juga seringnya menghabiskan waktu sama ibuku karena ibuku selalu di rumah. Aku ikut ke pasar, aku ikut ke toko jahit, aku bantu petik tomat di depan rumah. Cuma, yang namanya ibu tetaplah ibu, kan? Bagaimana pun juga menurutku ibuku bukanlah orang yang cocok dijadikan teman main kayak anak-anak pada umumnya."

ESCAPE [Mark Lee]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang