MIUA : 13 ✔

125K 8.6K 177
                                    

Jangan lupa vote dan comment 💜

👨‍👩‍👧‍👦👨‍👩‍👧‍👦👨‍👩‍👧‍👦
Selamat membaca
.
.
.

“Permisi, apakah Anda yang bernama Nona Vina?” tanya seorang laki-laki muda. Sontak kedua orang yang berada di sana mengalihkan atensi dari minuman yang tengah mereka nikmati.

“Iya benar, maaf Tuan siapa?” tanya Vina balik pada laki-laki yang berdiri di depan mejanya.

“Saya Zen, asisten tuan Rizam. Tuan ada meeting mendadak sehingga tidak bisa datang. Dan saya dipercayakan untuk menjemput anda,” ujar laki-laki itu dengan sopan.

“Tapi saya tidak punya banyak waktu Tuan, 20 menit lagi harus sudah sampai dirumah,” jawab Vina dengan nada khawatir. Mengingat hukuman Cindy atas keterlambatannya kembali kerumah tempo lalu.

“Panggil nama saja Nona. Anda tidak perlu khawatir karena setelah ini saya akan mengantar Anda pulang,” ucap lelaki itu.

“Baiklah, tapi aku sungguh tidak bisa berlama-lama,” jawab Vina sembari melirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangannya.

Lelaki itu pun mengangguk, dan membawa kedua mereka kedalam mobil.

Sesampainya di depan sebuah perkantoran megah menjulang tinggi hingga berlantai-lantai. Vina ternganga heran sekaligus takjub.

Untuk apa aku dibawa kesini? batin Vina.

“Silahkan, Nona,” ujar Zen membukakan pintu mobil.

Mereka masuk kedalam kantor itu dan menaiki lift menuju lantai 13. Sesampainya disana, Vina dipersilahkan masuk kedalam sebuah ruangan mewah bertema klasik. Vina bisa melihat sebuah papan nama bertuliskan CEO Abrizam Zico Athala, yang terletak rapi diatas meja kerja. Juga ada foto seorang bocah laki-laki yang sekarang tengah duduk disampingnya.

Jadi ini ruang kerja mas Rizam. Sangat klasik dan elegan. Aku jamin ini pasti sangat nyaman meski harus duduk disini seharian, gumam Vina di dalam hati menatap takjub.

“Nona, tunggu sebentar lagi. Tuan Rizam sudah hampir selesai, sebab dari 1 jam lalu beliau sudah mengikuti meeting,” ujar Zen pada Vina dan hanya diangguki oleh gadis itu.

👨‍👩‍👧‍👦👨‍👩‍👧‍👦👨‍👩‍👧‍👦

“Zen, apa kau sudah---“ Rizam terkejut, namun tetap melangkahkan kakinya menuju sofa yang ada didalam ruangan kerja. “Baiklah Zen, kau boleh tunggu diluar,” lanjutnya.

“Permisi Tuan, jika butuh sesuatu saya ada diruangan Sherly,” ujar Zen sopan. Dan hanya mendapat anggukan kecil dari Rizam.

“Kenapa membawa Alif?” tanya Rizam menyipitkan mata.

“Maaf sebelumnya Pak, kasihan kalau Alif harus menunggu supir sendirian didepan sekolah. Jadi saya ajak serta. Tidak usah khawatir Pak, karena saya sudah meminta ijin pada ma---eh, nyonya Rosa maksudnya,” jawab Vina gugup tak berani menatap laki-laki yang duduk dihadapannya.

“Apa harus ditulis dijidat ‘saya bukan bapak kamu’, supaya tidak terus-terusan memanggil bapak! ” kesal Rizam.

“Ma-maaf Mas, aku hanya segan saja. Tidak bermaksud lancang apa lagi ini di kantormu,” jawab Vina kikuk.

“Papa, ayo makan. Alif bawa ayam geprek,” celetuk Alif yang tidak mengerti ketegangan diantara dua orang dewasa itu.

“Kamu belikan anak saya makanan pedas?” Seketika ekspresi tidak suka langsung menguar dari wajah Rizam. “Kamu pikir anak saya umur berapa ha? Dia masih kecil untuk mengonsumsi makanan sepedas itu. Lambungnya bisa rusak!” cecar Rizam.

“Ti-tidak Mas, aku tidak bermak---"

Seketika Rizam memotong kalimat Vina. “Tidak bermaksud? Tapi membelikan nya!” ketusnya.

“Papa, aaa ... enak 'kan?” Alif menyuapi se-suir ayam geprek kemulut ayahnya.

Enak. Tidak seburuk yang ku kira. Jadi, dia tidak membeli yang pedas? melainkan rasa keju, batin Rizam. Padangannya ter-arah pada wanita yang kini tengah menunduk meremas dress miliknya sendiri.

“Mama, ayo suapi Alif dan Papa,” pinta bocah itu menarik tangan Vina agar mendekat padanya. Sedangkan yang ditarik malah harap-harap cemas menunggu reaksi laki-laki dewasa yang berada disamping Alif.

“I-iya, duduk disini, biar mama suap,” ujar Vina menuntun Alif bergerak sedikit menjauh.

No, Alif mau di pangku Mama. Dan juga harus suapi Papa ya. Mau 'kan Ma?” pinta Alif menarik Vina mendekat kesamping Papanya kemudian duduk dipangkuan Vina.

Tanpa banyak menjawab lagi, Vina segera menyuapi Alif. Bocah itu begitu lahap, sedangkan laki-laki yang berada di samping mereka menelan ludah melihat nafsu makan anaknya.

“Hmm ....” Rizam mencoba mencairkan suasana.

“Alif lupa. Ayo cepat Mama suapi Papa ya. Tapi jangan pakai makanan Alif," ujar bocah menggemaskan itu.

Vina benar-benar tidak tahu harus melakukan apa, mana mungkin ia selancang itu menyuapi bos dingin plus ketus di sampingnya ini. Melihat wajahnya saja, rasanya Vina ingin menunduk seharian. Tampan memang, tapi ....

"Cepat Mama! Papa kelaparan. Ayo cepat kasihan Papa." Paksa Alif menarik satu porsi Ayam geprek yang berada di atas meja.

Dengan berat hati Vina memberanikan diri untuk menyuapi si bos besar disampingnya. Perlahan ia mengarahkan sendok kemulut Rizam. Masih dengan ragu, namun tak ada reaksi penolakan apapun dari Rizam. Akhirnya masuklah satu suapan ayam geprek sambal ijo beserta nasi kedalam mulut Rizam.

Betapa terkejutnya Rizam, ternyata rasanya tak seburuk yang ia pikirkan. Sungguh Rizam menyesal karena tidak pernah mencicipi makanan ini.

Vina menghela napas lega, setelah semua nasi beserta ayam itu tandas, ia membersihkan bekas makanan diatas meja.

Entah apa yang ada di otak bos besar ini, sampai-sampai tak ada sepatah kata pun yang di ucapkannya. Entah dia menyukai makanan itu atau malah tengah bersiap-siap meledak memarahi Vina.

"Saya tidak bisa bicara sekarang! Jika besok kamu diajak seorang diri. Maka datanglahlah sendiri, bukan mengajak pasukan," ketus Rizam.

Dasar dingin, untung tampan! Sabar Vina. Ingat, kalau sabar mu seluas layar televisi diwarung bude Ati. Ah, tidak. Itu terlalu kecil, batin Vina.

"Terserah kamu Mas aja, maaf aku tidak bisa berlama-lama. Karena masih banyak pekerjaan di rumah." Vina mulai panik. Menyadari jam berapa sekarang, dia akan terlambat lagi pulang kerumah, habislah.

"Hmm," respon Rizam.

Setelah itu Vina pulang bersama Alif diantar oleh asisten Rizam. Telebih dahulu mengantar Alif, kemudian barulah dirinya.

Sampai dirumah Vina benar-benar takut. Yakin, pasti mereka akan memarahi bahkan memukuli dirinya lagi. Hanya bisa pasrah lagi kali ini.

Eh, tunggu. Tadi wanita itu hanya menyuapi aku dan Alif. Apakah dia tidak makan, atau sudah makan? Ah, bodoh Rizam. Untuk apa susah-susah memikirkan dia. Ingat, dihatimu hanya ada satu mahluk yang disebut wanita. Dia Eva, bukan orang lain, batin Rizam menatap kepergian anaknya dan Vina.

Ada sedikit bagian yang menghangat disudut hatinya. Disela-sela relung terdalam yang kosong selama 4 tahun ini. Namun pembenaran lisan selalu meronta, seolah wanita yang telah berkalang tanah itu masih bertahta dihatinya. Hanya Tuhan yang memafhumi segalanya.

👨‍👩‍👧‍👦👨‍👩‍👧‍👦👨‍👩‍👧‍👦

Follow ya
~ Marrmonava ~

Tinggal tap user name diatas, lalu tekan follow/ikuti.

Mama Impian Untuk Alif [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang