5. Open Arms

321 78 38
                                    

"so now i come to you, with open arms"

Bahasa
Surabaya, Mei 2020

Aku selalu membenci deadline, minggu (tidak) tenang, dan tugas kelompok.

Lalu, ketika tiga kata itu saling bersekutu untuk membentuk satu frasa. Tamatlah riwayatku.

Minggu tenang, itu adalah mitos yang paling nyata sepanjang kehidupan perkuliahanku.

Ya bagaimana tidak?

Deadline satu saling berkejar dengan deadline lain. Laporan yang satu saling meronta mengacaukan kewarasan ini dan saling menuntut untuk lebih dahulu diselesaikan.

Intinya, tidak ada yang tenang dari minggu tenang.

Sialnya lagi, mitos dari para pendahulu. Mereka bilang, semester enam itu satu yang rasanya seperti seumur hidup.

Merencana bangunan, bercampur dengan rekayasa nilai. Featuring dengan deadline penyelesaian laporan kerja praktik yang menumpuk.

Tuhan, rasanya ingin log out dari otak ini barang sehari saja!

Belum lagi jika harus berhadapan dengan sekumpulan individu tidak tahu malu yang suka menumpang nama. Mereka yang paling cepat mengumpul tugas individu dan suka menghilang dari bumi kala ditanya perkara tugas besar kelompok.

Hari ini, adalah salah satu hari aku ingin memaki semua orang seharian, ditambah membenturkan kepala ke dinding terdekat.

'Sudahlah. Nyerah aja, nyerah aja. Mending ngulang merencana dibanding nyaris gila begini.'

Batinku terus menerus mengucap satu kata yang sama. Pandangku berpendar mengamati sederet tumpukan Standar Nasional Indonesia untuk perhitungan Beton maupun Baja. Belum lagi aplikasi pengolah angka yang masih terbuka ditemani dengan hasil aplikasi analisis struktur yang berhasil mengikis habis semua kewarasanku.

'YA TUHAAN!! KENAPA DULU SAYA MASUK TEKNIK SIPIL SIH? SEDANG KERASUKAN APA COBA?'

Mengusak surai dengan kasar, aku masih nggak habis pikir dengan semua penjadwalanku yang meleset jauh dari perkiraan.

Sungguh, ini semua ulah individu biadab yang kemarin mendadak hilang dari bumi lima jam menjelang deadline laporan value engineering yang (untung saja) berhasil aku kebut. Tentunya hal itu nggak luput dari sumpah serapah dan nama oknum tertentu yang sengaja aku hapus dari laporan.

'Ya masa dihubungi nggak dibalas tapi update instagram? Untung saja aku nggak kepikiran untuk mengirim santet online.'

Aku capek.

Capek banget.

Capek final, nggak pakai revisi.

Fix capek.

Kedua netraku terpejam, sembari tubuh ini bersandar pada sofa yang berada pada ruang tengah. Televisi yang menyala itu masih sibuk berceloteh menyampaikan kabar terbaru dunia luar. Sesuatu yang sama sekali nggak menarik minatku.

Ah, tapi kan memang nggak pernah ada yang cukup menarik minatku.

Kecuali,

Haris is calling

Dia.

Haris Prabu Taraka.

'Ada apa?' tanyaku, begitu aku memilih untuk nggak membiarkan ia yang berada di seberang sambungan menunggu terlalu lama.

Alih alih menyahut, Haris terkekeh. Kalian harus tau, dia itu paling tampan maksimal kalau sedang terkekeh dengan senyum tengilnya itu!

'Sudah makan belum?' ujar Haris, akhirnya membalas tanyaku setelah mendengar decak sebal yang kuberi atas kekehan tampannya itu.

Playlist: HarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang