10. Jenga

194 48 79
                                    

"i don't wanna play this game no more" 

Haris
Surabaya, Juli 2020

"Pergi, Haris"

"Pulang"

Fajar belum hendak menampakkan diri, tapi sudah dua saja kata penolakan yang aku dapat. 

Pukul setengah empat pagi. Berlari setengah kesetanan menuju basement dengan jantung yang berdegup gila-gilaan, aku melaju dengan Brio abu milikku dalam lalu lintas lenggang Mayjend Yono Soewoyo. Menuju hunian si hawa yang sepertinya jelas nggak ingin mendengar alasan apapun yang akan aku berikan. 

Seharusnya justru aku merasa cukup bersyukur sosok Bestari masih memiliki keinginan untuk menemuiku. 

Pukul empat pagi, surai si gadis tampak berantakan. Namun raut itu, berucap sebuah kejujuran dalam sebuah air muka kelegaan. Rautnya, jelas menunjukkan kalau Bahasa sama sekali belum tertidur. 

"Aku nggak sengaja lupa kalau ada janji sama kamu, Sa"

Bohong.

Aku ingat betul, Sa.

"Maafin aku"

Lalu pada akhirnya Asa benar, aku selalu merasa maaf dapat menyelesaikan semuanya.

"Kamu lupa?" teriak si gadis, lebih histeris dari dugaanku. Dua netra gelap itu tampak terkejut -dan kecewa. 

Sorotnya begitu dalam, bahkan cukup dalam untuk menenggalamkan jiwa ini dalam tatap gelapnya. Satu yang membawa hati ini untuk ikut merasa sesak atas kecewa yang sedang ia tempa. 

Asa marah.

Amat. Sangat. Marah.

"Pulang," balas si gadis kembali, berbalik, dan enggan menoleh ke arahku.

Alih-alih ia lebih memilih berdiri tepat di hadapan pintu rumahnya, nampak ragu untuk memutar kenop pintu. 

"Sa, dengerin aku!"

"Haris, kamu tahu," Asa menarik nafas panjang, jemarinya terkepal begitu erat sampai aku dapat meyakini kuku panjang si hawa itu berhasil menoreh sebuah tanda luka, "aku paling benci dengan orang yang ingkar janji."

Senyap. 

'Aku nggak bermaksud ingkar tapi, Sa'

"Maaf, Sa."

Hitam tahan tempa, putih tahan sesah. 

Tidak berubah. Sedikitpun kebiasaan terus berucap kata maaf itu sama sekali nggak dapat aku singkirkan. 

Berkali memberanikan diri untuk mengatakan satu kejujuran yang diharapkan oleh Bestari, ternyata nggak begitu mudah. Aku maju satu langkah untuk mundur sepuluh langkah. 

"Stop saying sorry, Haris. Aku nggak ingin bicara sama kamu lagi"

"Aku nggak bermaksud lupa, Bestari Bahasa," teriakku begitu desperate, penuh sesal, dan menimbang selama berpuluh kali dalam kepala untuk mengatakan kejujuran pada si hawa. 

Tapi tentu aku terlalu pengecut, Sa.

Aku terlalu pengecut untuk memberi apa yang kamu harap, Bahasa

Jadi, lebih baik begini saja 'kan? Kamu bersama asumsimu yang Maha Benar itu.

"Kamu dan asumsimu, as always, Bahasa"

Asa berbalik dengan cepat, melangkah menuju arahku seperti sedang kesetanan. Lalu sebuah tamparan melesat, dengan satu kecewa yang begitu kentara, "ini bukan tentang asumsiku, it's about you, dan janji kamu! Aku nggak bisa, Ris."

Playlist: HarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang