6. All We Ever Do Is Say Goodbye

321 60 40
                                    

"why you wanna break my heart again?"

Haris
Surabaya, Agustus 2019

Selalu akan datang satu hari ketika seorang individu hanya ingin menyerah, berbaring, menatap langit-langit, lalu berpura-pura sejenak melupakan semua penat yang mengganggu.

That's today, for me.

Deadline yang tidak bertemu dengan hasil pada sebuah mata kuliah yang cukup krusial.

Individu yang secara terang-terangan mengucap kecewa.

Lalu kinerja organisasi yang kacau menjelang evaluasi paruh periode. 

'Ah, apa lebih baik menyerah aja ya?'

'Kira-kira dulu kesambet setan yang mana kepikiran jadi Kahim?'

Begitu setidaknya isi kepala ini selama kurang dari dua puluh empat jam terakhir. Terlalu naif untuk mengatakan kalau disaat seperti ini nggak ada sebuah harap yang terbit. Keinginan bahwa sosok Bestari Bahasa dapat setidaknya menjadi oase ditengah tandus. 

Tapi terkadang memang realita nggak sejalan dengan harap dan ingin

Terhitung sudah dua bulan.

Enam puluh dua hari sejak kami saling berciuman di tengah lenggang lalu lintas Kertajaya. Lalu keesokan hari kami memulai kebiasaan baru untuk saling menunggu balasan pesan satu sama lain. Bersama dengan agenda-agenda rutin untuk menghabiskan waktu bersama.

Tak lupa kami sesekali mencuri kesempatan untuk kembali mencumbu ditengah segala kesibukan. 

Dua bulan dan kami bahkan nggak pernah dapat mendefinisikan hubungan ini. 

That's funny because i was the one that used to play around and now it almost feels like Bahasa been playing with me.

Si hawa dengan ego yang menjulang dan kepercayaan minim pada sekumpulan individu yang didefinisikan sebagai 'manusia' -si pragmatis. 

The old me would just brush it off and look for other girls. 

But she's the Bestari Bahasa.

Bahasa yang berhasil menjungkirbalikkan duniaku dalam obsidian hitam yang penuh amarah. Ia dengan segala sikap acuh dan dualismenya. Bestari yang berhasil membawaku untuk berhenti menatap hawa lain. 

Bestari Bahasa Pertiwi, ia berhasil membawaku untuk berhenti menghindar dari satu fakta bahwa aku terlampau jatuh pada si hawa. 

She's the one, for me.

Dia sebagai pusat distraksi terbesar dalam semestaku. Bahkan sama sekali nggak menyadari penting dari eksistensinya untukku. 

Kalian harus tahu bagaimana aku begitu panik mendengar jawab atas pertanyaan Bang Jeffrey kepada si hawa dua bulan yang lalu. Ketika ia dengan lantang mengatakan 'i want him.'

Bestari nggak pernah tahu itu. Tentang hari yang kulewatkan dengan berusaha menghindar dari sosoknya karena ketakutan yang merayap mendengar jawab si hawa. Sebuah rasa kesadaran bahwa dalam diam aku membiarkan dia untuk menetap terlalu lama dalam hati. Lalu tentang seberapa denialnya, Bahasa adalah jawabnya. 

Sampai kepada ciuman pukul dua pagi itu menjadi penyelesaian atas semua ragu, setidaknya untukku

But Bestari, she always thinks differently.

Berkali aku mencoba untuk nggak terusik dengan fakta bahwa Bahasa selalu mengelak pada setiap tanya mengenai status hubungan kami. 

Masa bodoh dengan berpura-pura,  sudah cukup aku terus membiarkan si hawa untuk mempunyai kontrol yang teramat besar pada atmosfir hati ini. 

Playlist: HarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang