Prolog

46 2 0
                                    

"Indahnya..."

Perempuan itu melihat lantai yang ada di bawahnya. Lantai tersebut bagaikan jendela, setiap petak lantai di seluruh ruangan tersebut seperti transparan menunjukkan pemandangan utuh planet Bumi.

"Berapa kalipun aku melihatnya, selalu saja membuat hatiku terkagum"

"Apakah kamu tidak merindukan tempat kelahiranmu?..."

Setelah mengatakan itu, perempuan berkulit cerah dan berambut panjang berwarna kuning cerah tersebut menoleh ke arahnya. Iris matanya yang berwarna hijau toska berbinar-binar menunjukkan akan kekagumannya terhadap sesuatu.

"...Dimas? "

Si perempuan itu. Menyebut namanya, laki-laki yang berada di samping si perempuan tersebut.

"Ah-anu... Saya rasa begitu", Jawab Dimas ragu. Dimas kemudian melirik kebawah dan kesamping, menunjukkan bahwa dia tidak yakin dengan jawaban yang dia berikan.

"Kamu tidak perlu malu-malu denganku", respon Si perempuan tersebut. Melihat sikap yang Dimas tunjukkan, dia sepertinya salah paham.

"Padahal baru satu bulan pergi dari Mars, tapi aku sudah merindukan Marshellium"

"Bumi..."

Mendengar kata itu dari Si perempuan itu, Dimas memfokuskan dirinya untuk mendengarkannya. Menunjukkan sikap yang sopan dan menjadi pendengar yang baik. Karena dia tau, bahwa Si perempuan itu akan membicarakan sesuatu.

"Tempat kelahiran seluruh makhluk hidup dan tempat yang menyimpan banyak sejarah. Aku selalu memimpikannya, melihat bumi secara langsung", Si perempuan mengatakan itu seakan itu adalah impiannya.

Dimas yang mendengarkannya kemudian mengendurkan raut wajahnya dan melemaskan pundaknya berkata, "iy-yaaa".

Dia tidak dapat mengatakan hal lain selain itu, karena dia mengagumi si perempuan itu dan sedang terkagum dengan yang dikatakanya.

"Ceritakan kepadaku, Dimas. Katanya langit disini berwarna biru, begitupun lautnya", setelah mengatakan itu,  si perempuan itu menyatukan kedua telapak tangannya di depan hidungnya dan matanya yang berbinar-binar memancarkan cahaya kebahagiaan. Menunjukkan sikap kagum dan rasa tidak sabar. Si perempuan itu melanjutkan bicaranya dengan membentangkan tangannya kesamping seakan menghirup udara segar.

"Apakah udara dan air di Bumi berwarna biru juga?"

Setelah mengatakan itu Dia perlahan-lahan mendekat ke Dimas dengan menggenggam kedua tangannya di depan dadanya. Matanya yang melebar tidak sabar menunggu jawaban dari Dimas.

Dimas langsung menjawab, "Tidak, Sebenarnya udara dan air itu tidak berwarna..."

Mendengar itu mata si perempuan itu semakin melebar. Genggaman kedua tangannya naik sampai bawah dagu. Dia tidak bisa menyembunyikan perasaan kagumnya.

"...Namun, dalam lapisan ketebalan tertentu bisa membuat cahaya yang dipantulkan... "

Si perempuan itu salah tingkah mendengar penjelasan Dimas. Tanpa disadari si perempuan itu memegang rambutnya yang terurai di samping kanan kiri wajahnya dan menyatukanya di depan dagunya. Matanya sedikit menyipit dan senyumanya semakin melebar.

Melihat itu, wajah Dimas memerah dan gugup. Baginya sikap yang ditunjukkan perempuan itu menggemaskan.

" ... me-menyebakan mereka terlihat berwarna biru "

Setelah mendengar penjelasan Dimas yang sangat sederhana. Si perempuan itu memutar tubuhnya membelakangi Dimas, dan menaruh kedua tangannya di belakang pinggangnya. Sedikit membungkukkan badannya kedepan dan melihat kebawah. Kemudian dia menarik kesimpulan, "Udara dan air dalam jumlah besar sampai bisa membelokkan cahaya"

Melihat Bumi yang begitu biru, dia kembali menghadap Dimas.

"Bukankah itu sangat hebat? "
"Aku bahkan tidak bisa membayangkannya"

Seperti biasa si perempuan itu tidak dapat menyembunyikan rasa kagumnya. Dimas kewalahan, dan hanya bisa meresponnya dengan tawa kecil.

"Ahaha-ha"

Ck-nginnng....

Suara pintu otomatis ruangan tersebut terbuka. Memperlihatkan seorang pria yang memiliki tatapan dingin. Berambut emas, warna iris mata juga emas, memiliki sayap emas di belakang pundaknya.

"Ternyata anda disini Tuan Putri", kata pria itu dengan suara berat tapi dengan intonasi yang nyaman didengar. Menunjukkan rasa sopan dan hormat.

Langkah beratnya, perlahan memasuki ruangan dan atmosfer berat memenuhi ruangan. Tapi tatapan dinginnya tidak kunjung mereda.

"Ahh, Panglima Valkerij", sapa si Putri yang sepertinya kenal akrab dengan pria itu. Kedatangan Panglima Valkerij tidak membuat si Putri tertekan.

" Waktu sudah mulai larut, tolong kembalilah ke kamar tidur anda. Tuan Putri Neja". Kata pria tersebut kepada Putri dengan sopan.

Sedangkan Dimas yang merasa tertekan oleh atmosfer yang dibawa Panglima Valkerij. Keringat sedikit menggelincir di pipi kirinya dan wajah tegang yang dia tunjukkan.

"Ohh, ternyata sudah larut ya? Pemandangan di bawah kakiku membuatku sampai lupa waktu", Jawab putri sambil melihat kebawah yang sedang mengenakan pakaian berwarna serba putih dan rok panjang sampai mata kaki bagaikan baju tidur. Kemudian dia menoleh ke Dimas mengatakan salam perpisahan, " Kalau begitu cukup sampai disini dulu pelajaranya, Dimas. Kita lanjutkan besok lagi ya? "

Mendengar itu tubuh Dimas bagaikan terpaku di lantai dengan perasaan tegang dan gugup Dimas menjawab dengan hati-hati, "Ba-baiklah tuan putri, dengan senang hati". Keringat dari dahinya terus merambat. Semua perasaan itu bukan karena putri tapi karena seorang pria yang datang menjemput Putri.

Tuan Putri perlahan keluar dari ruangan tersebut. Setelah si Putri melewati samping Panglima Valkerij, beliau melihat Dimas. Beliau menurunkan dagunya dan menyudutkan alisnya. Sepertinya beliau menunjukkan sikap teguran kepada Dimas secara tidak langsung. Penampilanya yang mengenakan jubah berwarna merah dan tanda pangkat di pundaknya, serta setelan jas hitam dibalik jubah tersebut dan turtleneck berwarna putih. Menunjukkan bahwa dia bukan orang sembarangan, kesan penguasa dan bangsawan terlihat dari penampilan pria tersebut. Tongkat komando yang dipegang di tangan kirinya memberikan kesan dia memiliki kedudukan yang paling tinggi dan menjujung tinggi harga diri dari seorang Ksatria. Kemudian beliau memalingkan wajahnya dan mengikuti di belakang Tuan Putri.

Ck-nginnng....

Suara pintu otomatis menutup. Sepanjang perjalanan mereka pergi keluar ruangan. Dimas hanya bisa menundukkan kepala. Menunjukkan rasa hormat dan permintaan maaf secara tidak langsung.

Klek!

Lampu dalam ruangan tersebut otomatis mati setelah mereka keluar. Cahaya dalam ruangan tersebut yang menyinari Dimas hanyalah cahaya dari bawah kakinya. Setelan jas berwarna biru tua tanpa pangkat dan pergelangan baju berwarna merah memantulkan secara tidak sempurna cahaya yang datang dari bawahnya.

Dimas perlahan menarik napasnya dalam-dalam sekaligus mengangkat kepalanya sambil memejamkan matanya. Kemudian menghembuskan napasnya, mengeluarkan segala ketegangan dan kegugupan yang dia alami tadi. Me-reset dirinya dan kembali pada tugasnya.

Dimas membuka mata, dia dari awal sudah menyadari dia ada di dalam kastil terbang atau disebut Titan. Titan yang mengorbit mengelilingi bumi, sejajar dengan orbit cincin bumi atau serpihan pecahan bulan. Objek ini memiliki tinggi sekitar dua kilometer dan diameter sekitar 300 meter. Berbentuk seperti jarum raksasa. Bagian bawah runcing dan bagian atas seperti kuncup bunga memiliki cincin merah menyala di atasnya. Titan, bisa disebut juga sebagai benteng udara raksasa.

Mengingat itu dan tugasnya, wajah Dimas berubah menjadi serius.

Arnoscrios [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang