"Minseok, kamu mau tau bagaimana aku bisa mendekati Jongdae? Aku beri tipsnya" Luhan menaruh jarinya di hidungku. "Ajak dia berbicara tentang Harvard dan gambar. Ingat H.A.R.V.A.R.D"
Aku membawa beberapa makanan dari imo dan komik Tokyo Ghoul, manga favoritku. Kenapa? Aku tidak punya materi lain. Aku menghela napas panjang sebelum mengetuk pintu. Aku mengetuk pintu perlahan
"Jongdae?"
"masuk. Tidak dikunci" jawab seseorang dari seberang sana. Parau. Aku ingin menangis. aku membuka pintunya, mengamati keadaannya. Masih ada beberapa alat yang setia di tubuhnya. Bahkan selang oksigen sialan itu masih bertengger di hidungnya
"ah, hyung" tubuhnya gemetar. "Aku sesak napas tadi. Luhan hyung memanggil dokter untuk melihat kondisiku. Katanya aku terlalu kencang berteriak, haha" katanya lemah. Aku tidak bisa! Air di mataku mengalir bagai bendungan yang bocor akibat retakan
"apa kabar?" Jongdae mengangguk. Dia melambaikan tangannya pelan, menyuruhku untuk duduk. Aku duduk di samping ranjangnya
"masih sakit?" Jongdae menghela napas panjang. "Susah bernapas?" dia menatapku. "Aku panggilkan dokter ya"
"hyung, tolong naikkan ranjang ini sedikit" pintanya. Aku menurut
"hyung apa yang kau bawa? Wah Kaneki Ken!" dia seperti ingin berteriak, namun lemah. Segera diambilnya komik-komik itu, dibacanya dengan serius. Senyumnya terpancar indah dari bibirnya
"hyung lihat Touka, cantik sekali. Seandainya dia itu nyata. Aku rela menjadi ghoul agar bisa dekat dengannya" aku terdiam. Mendengar setiap ceritanya. Hei Minseok, harusnya kau menghiburnya, bukan dia yang menghiburmu!
"hyung bawa ramen. Mau makan? Kata dokter kau boleh makan apa saja, asal tidak pedas"
"hyung kau tau? Aku berhasil mendapat beasiswa dari Harvard. Tapi eomma menyobeknya dan membakar surat itu di depanku" aku tahu ini pasti terjadi. Karena pengobatan psikisnya Jongdae sering meracau tidak jelas serta tidak menjawab pertanyaan dengan benar
"hyung, kenapa? Apakah kepalamu masih sakit karena jatuh saat mengambil kerang bersama nenek? Laut itu harus disalahkan"
"tidak, tidak sakit kok. Sudah sembuh. Lihat? Bekasnya sudah—"
"hyung, makanlah yang banyak. Kamu tampak kurus. Ini aku ada udang goreng favoritmu. Jangan menangis ya" aku menerima udang 'tidak nyata' dari Jongdae sambil menahan tangisku
"hyung, kapan kamu pulang dari Amerika? Apakah Harvard akan menerimaku karena aku punya kakak dari Amerika? Hyung? Hiks jangan menangis. maafkan aku hyung. Hyung aku salah. Karenaku kau selalu kena marah eomma. Hiks, maafkan aku" Jongdae menangis kencang. Dia melepas selang oksigennya dan memelukku erat
"jangan menangis bodoh, hiks" aku ikut menangis. "Pakai selang itu, nanti kamu sesak napas lagi"
"aku tidak sengaja mencekikmu hyung, hiks. Aku tidak sengaja membunuh hewan-hewan itu hyung. Hyung maaf, maaf"
"kamu tidak salah apa-apa Jongdae. Jangan terus menyalahkan dirimu sendiri" aku mempererat pelukanku. Sekarang aku hanya bisa mendengar napas teratur. Tidak ada teriakan atau tangisan. Jongdae tertidur
"wah, aku mengapresiasi kehebatanmu Xiuxiu. Baru pertama kali ini Jongdae tidur tanpa obat bius" ujar Luhan sambil bertepuk tangan. Aku membaringkan tubuh kecilnya dan menurunkan ranjangnya. Ada gerakan kaget dari tubuh Jongdae
"eh?!" kagetku
"santai dong Xiuxiu. Hhmm sepertinya kita tidak perlu memakaikan selang oksigen ini. semua tampak normal. Ah, dia tidak mau makan lagi? Aigoo" Luhan menyuntikkan sesuatu di selang infus Jongdae. Jongdae tampak meringis
KAMU SEDANG MEMBACA
HELP ME! ✓
RandomJongdae, seorang anak lugu, polos, memiliki ambisi dan lucu. Dibesarkan bersama seorang kakak bernama Minseok yang selalu merawat serta membelanya kapanpun. Namun, seindah indahnya sebuah keluarga, terdapat sebuah kisah kelam dibalik itu Ah,jongdae...