Merantau

12 2 0
                                    

Plafon kamar pagi ini jadi alarm lewat lubang kecilnya yang disinggahi antri air bekas hujan semalam, dan tetes demi tetesnya yang jatuh pada pelipis seperti memecahkan teriak memanggilku--ayo bangun anak muda,
makin-makin oleh sinar mas mentari yang selalu tanpa salam meringsek saja melewati celah ventilasi yang rendah di kamar ini, hingga sorotnya tepat jatuh di belahan katup mataku yang mengejutkan pupil, retina dan rekan sejawatnya untuk bangun seketika.

"Haduhh kok basah sih?" ucapku sambil menyeka pelipis dan kesilauan.

"Semalam hujan deras, kamu gak sadar?" ibu memotong igauan sambil menyapu kamarku.

"Loh ibu dari kapan di kamar?" tanyaku membelalak kaget ke ibu.

"Dari jaman romusha ibu di sini, liat nih, kamar punyamu, tapi gak pernah dibersihin, ibunya melulu yang nyapuin, apa gak di-romusha nih kamu punya ibu? Sudah, kamu siapkan aja keperluan kamu buat nge-kos di Semarang itu."

"Maaf Bu, hehe. Sini aku lanjutin Bu."

Usai menyapu kamar yang penuh sampah makanan ringan dan daki yang selalu kugosok ketika bosan, aku singgah ke dapur dan menyeduh teh. Lalu singgah ke teras.

"Pak, aku bawa apa lagi ya buat di kosan nanti?" tanyaku pada bapak yang sedang isi TTS.

"Loh gak tau, kan itu kebutuhan kamu, Nak," sahut bapak yang selalu sederhana jawabannya.

Pagiku begitu singkat seperti percakapanku dengan Ayah dan Ibu. Siangnya bantu Ibu berjibaku dengan ciprat minyak di wajan. Sedang sorenya bantu Bapak di kebun singkong belakang rumah, tepatnya menemani, ia culun sedari SMA, tak pernah berani kemana-mana sendiri. Lalu sampai malam tiba, aku kembali ke kasur, bosan, gosok daki, sampai tidur lagi.

***

Pagi ini, plafon kamar tak jadi alarm lagi, mungkin langit tak begitu galau malam tadi, atau lubangnyalah yang lupa kalau ada genang air yang sedari adzan subuh menanti untuk jatuh ke pelipis lagi. Entahlah, peduli amat, ngorok hidungku terasa merdu benar kali ini dan patut diberi perhatian lebih, namun rekan usilnya, sinar mas mentari tetap dengan tidak sopan meringsek ventilasi, tapi pagi ini ia meleset jauh dari kerlingan katup mataku, entah apa penyebabnya, ia tak pernah seburuk itu dalam akurasi memberi sorot usil.

Dua hal tadi sama sekali tidak jadi alarm seperti biasanya, justru telingakulah yang kali ini diusili untuk buru-buru bangun dan membelalakan mata membaca pesan yang baru saja masuk ke gawai.

Benar saja, aku langsung loncat dari lelap setelah baca pesan dari ibu, "RAMA BANGUN! 5 MENIT LAGI ITU LOH KAMU KATANYA MAU OSPEK HARI PERTAMA! AWAS TELAT!"

Cerita Tapi Singkat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang