Prolog

599 90 35
                                    

Semua pasang mata berpusat pada diriku. Mereka menatapku dengan heran. Aku semakin gugup dan juga ketakutan. Aku tidak mengenal mereka. Dan sekarang, aku harus berakhir di tempat ini.

Aku mengerjapkan mataku, berharap ini hanyalah mimpi. Selama tiga hari, aku selalu berharap bahwa ini adalah mimpi. Aku masih belum percaya yang terjadi saat ini.

"Nama lo siapa?" tanya perempuan yang bernama Tamara, seingatku.

Sudah ke-lima kalinya ia menanyakan hal serupa.

Aku menggeleng-gelengkan kepala kembali. Aku tidak tahu siapa diriku sebenarnya.

"Saya nggak ingat Kak. Dan sekarang saya bingung... kenapa semua orang yang saya temui di jalan mengabaikan saya?" tanyaku karena benar saja, selama tiga hari ini aku luntang-lantung tanpa tujuan. Dan saat aku bertemu, bahkan berpapasan dengan orang lain, mereka justru mengabaikanku.

Untung saja aku bertemu dengan Kak Tamara tadi. Lalu dia mengajakku ke tempat yang ramai seperti ini.

Aku telah kehilangan seluruh memori di kepalaku. Aku tidak mengingat apapun dan siapapun.

"Malang sekali nasib kamu Nak. Bagaimana mungkin kamu meninggal dengan melupakan seluruh kenanganmu saat masih hidup," ujar wanita yang berdiri di belakang Tamara. "Bahkan kamu sendiri tidak sadar kalau kamu sudah meninggal."

Aku mengernyit. Apa yang barusan aku dengar, sama sekali tidak bisa aku pahami.

"Meninggal?" bingungku. "Maksud Ibu itu apa Kak?" tanyaku pada Tamara.

"Em..." gugup Tamara. "Sebenarnya...kita semua ini arwah," sambungnya.

"Arwah?" aku kembali dibuat bingung. "Aku..udah meninggal?"

Tamara mengangguk sangat yakin.

"Lalu...pasti keluargaku sedang berduka. Pasti mereka menangisi kepergianku," ungkapku sedikit cemas.

Walaupun aku tidak tahu siapa keluargaku, tapi dapat ku pastikan mereka sedang berduka saat ini.

Aku mengatur pernapasan.

"Hei teman, lo beneran nggak ingat apapun?" tanya Tamara memastikan.

Aku terdiam sejenak, lalu memejamkan mataku. Mencoba mencari suatu hal yang aku ingat.

"Sepertinya.. enggak," jawabku kemudian.

***

Aku sedang duduk dengan kebingungan ini.

Aku melihat pria paruh baya mendekatiku, lalu duduk di sampingku.

"Nak, nama saya Krist. Panggil Pak Krist," pria paruh baya itu mengulurkan tangannya.

Aku melirik ke samping, lalu tersenyum. "Senang berkenalan dengan anda Pak," sahutku sembari membalas uluran tangannya.

"Pasti saat ini kamu sedang merasa sedih. Saya pernah merasakan hal serupa seperti kamu," ungkap Pak Krist sembari menatap lurus ke depan.

"Lupa ingatan?" tanyaku.

"Bukan. Tapi saya tidak sadar kalau saya sudah meninggal."

"Bapak masih beruntung, bisa mengingat kenangan dari kehidupan Bapak," jawabku.

"Kamu tenang saja, saya akan membantu kamu sampai kamu menemukan penyebab kematian kamu," tutur Pak Krist sembari menghadapku. Kelihatannya dia benar-benar serius.

"Sungguh?" tanyaku memastikan.

Pak Krist mengangguk. "Kamu jangan khawatir, saya akan menjadi teman yang selalu ada untuk kamu."

"Emang.. nggak masalah kalau anak kecil berteman sama orang tua?" aku yang berusaha membuat keadaan semakin akrab dengan melontarkan kalimat ledekan.

Pak Krist tertawa. "Ternyata kamu anak yang lucu."

"Makasih lo Pak pujiannya," jawabku sembari cengengesan.

"Kalau saya boleh tau, Bapak udah gentayangan berapa lama?"

"Delapan tahun."

Aku membuka mulutku dengan lebar, aku terkejut bukan main.

"Pak, tolong doain saya ya! Supaya saya nggak gentayangan selama Bapak!"

"Amiin," sahutnya.

"Amiin," aku yang kemudian mengikuti Pak Krist.

"Bapak janji ya, selalu ada untuk membantu saya!" ujarku yang berusaha meyakinkan perkataan Pak Krist sebelumnya.

Pak Krist mengangguk yakin.

"Makasih Pak," ucapku dengan suara keras.

Aku mulai bersemangat menemukan teka-teki terkait kematiannku. Karena aku yakin Pak Krist akan selalu ada untuk membantuku.

Pak Krist menepuk-nepuk bahuku, lalu berdiri dari duduknya. "Kamu harus yakin kalau ini semua akan terjawab. Dan kamu jangan pernah lagi bersedih! Percayalah kalau kamu pasti bisa menghadapinya!" Pak Krist memberikanku semangat.

"Siap," aku mengancungkan ibu jariku.

Pak Krist mulai meninggalkanku.

Aku merasa kepalaku sedikit berat, lalu aku memejamkan mataku sembari memegang pelipisku.

"Pak Krist.....!!! Tunggu...!!" teriakku mencegah Pak Krist semakin jauh.

Pak Krist menghentikan langkahnya, lalu aku berdiri dari dudukku. Aku berlari dengan cepat menghampirinya.

"Ada apa?"

"Saya mengingat sesuatu Pak," ungkapku sembari tersenyum lebar.

Aku benar-benar senang bisa mengingat satu hal ini. Ini adalah langkah awalku untuk menemukan semuanya.

"Ka--kamu mengingat apa?" tanya Pak Krist yang juga histeris.

"Alamat rumah saya," jawabku sembari tersenyum lebar.

Tifanny's MissionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang