Tifanny berjalan di koridor dengan senyuman yang masih menghiasai wajahnya. Rasa senangnya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Jika saja Tifanny bisa terbang, mungkin saat ini ia sudah terbang sangat tinggi karena saking senangnya.
Entah kenapa wajah Efinna justru terlihat lebih cantik saat Tifanny masuk ke dalam tubuhnya. Mungkin karena selama ini Efinna selalu merasa tertekan dan tidak pernah tersenyum selebar Tifanny.
Tifanny tidak bisa melepaskan Mamanya dari pikiran. Ia selalu terbayang-bayang bagaimana tadi ia sarapan bersama Mamanya, berangkat sekolah bersama, mencium tangan Mamanya, memeluk Mamanya, dan mencium pipi Mamanya. Tifanny ingin selalu merasakan seperti ini, tidak hanya sekedar melihat tanpa dilihat kembali. Semua ini sudah lebih dari cukup bagi Tifanny.
***
Tifanny memasuki kelasnya dengan wajah tanpa beban, berbeda dengan Efinna biasanya. Tidak terlihat ketegangan, kecemasan, dan ketakutan sedikit pun. Sepertinya Tifanny menganggap remeh Meisya.
Tifanny berjalan menuju bangkunya. Iya, bangku paling belakang dan duduk sendirian.
Pagi ini tidak seperti biasanya. Bangku hampir terisi penuh. Biasanya ketika Efinna dan Tifanny tiba, hanya terisi beberapa bangku di dalam kelas. Karena banyak momen indah yang Tifanny lakukan bersama Mamanya. Tidak seperti Efinna biasanya, Efinna selalu berangkat pagi tanpa sarapan.
Tifanny menurunkan tas dari bahunya, lalu meletakkannya di meja. Terdengar helaan napas yang cukup dalam dari Tifanny. Suara helaan napas yang terdengar lelah dan lega diwaktu yang sama.
Tifanny memandang jam dinding yang tergantung di atas papan tulis. Saat ini jam menunjukkan pukul enam lebih lima puluh menit. Masih tersisa sepuluh menit lagi untuk menunggu bel masuk dibunyikan. Tifanny sudah cukup bosan dengan mendengar kata 'sekolah', apalagi harus belajar.
"Aishh," Tifanny kesal. Matanya sejak tadi masih memandang jam dinding yang dianggapnya tidak berjalan sama sekali.
Menunggu jam melewati satu menit, terasa satu jam bagi Tifanny. Melihat dan mendampingi Efinna ke sekolah benar-benar berbeda rasanya dengan menjadi anak sekolah sungguhan.
Tifanny menggosok kedua matanya, karena tiba-tiba saja matanya menyipit. Setelah menggosok kedua matanya, Tifanny mencoba melebarkan kembali pandangannya, ia kembali mengawasi jam. Ketika jam menunjukkan pukul enam lebih lima puluh sembilan menit, disaat itu juga Tifanny menguap tanpa ia sadari.
Bel masuk dibunyikan. Pertanda gerbang sekolah ditutup dan kegiatan belajar mengajar dimulai.
Wanita dengan kacamata bulatnya memasuki kelas, disaat yang bersamaan juga Tifanny kembali menguap.
Tifanny terus menguap, dia merasakan tubuhnya lemas tiba-tiba. Pandangan Tifanny mulai kabur, lalu ia meletakkan kepalanya di atas meja.
***
Tifanny menegakkan kepalanya sembari melebarkan kedua tangannya. Ia menutup mulutnya ketika menguap, lalu mengerjapkan matanya dengan cepat.
Kosong. Tidak ada murid lain di dalam kelas, kecuali dirinya. Bagaimana mungkin Tifanny bisa terlelap tadi? Ia melewatkan semua pelajaran hari ini. Suatu petaka.
Tifanny melihat sekeliling, kepanikannya langsung mereda. Untung saja Tifanny adalah tipe yang santai dan tidak panikan. Tifanny cukup cermat. Sebelum menyimpulkan sesuatu, ia selalu memastikan segalanya.
Tifanny melihat tas-tas di dalam kelas masih utuh. Berarti jam sekolah belum usai, melainkan sedang jam istirahat.
"Aish, gimana gue bisa lupa sih? Sekarang gue ini manusia," Tifanny menggerutui dirinya sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tifanny's Missions
FantasyTifanny Selgiani menjadi arwah gentayangan sejak kematiannya genap empat puluh hari. Dia selalu mengikuti kemana kembarannya berada, Efinna Selgiana. Efinna adalah gadis yang pintar, pendiam serta penurut namun selalu menjadi sasaran bully dari tema...