Satu

413 79 5
                                    

Tifanny sedang memangku dagunya sembari menatap gadis yang wajahnya terlihat sendu. Gadis itu terlihat sangat mirip dengan wajahnya Tifanny. Di dada gadis tersebut bertuliskan 'Efinna Selgiana'.

Berkali-kali gadis yang bernama Efinna itu menelan ludahnya. Napasnya pun terdengar ingin mengeluarkan suara isakan, namun dapat ditahannya.

"Fina, kalau lo mau nangis...nangis aja!" tutur Tifanny yang duduk tepat di samping Efinna.

Efinna menarik napas panjang, lalu sedikit menundukkan wajahnya tanpa melirik ke arah Tifanny sama sekali.

Tifanny mengangkat tangannya, lalu mendaratkannya tepat di atas kepala Efinna. Tifanny mengelus lembut rambut Efinna, kemudian ia menghela napas berat.

"Maafin Fany! Fany belum bisa bantu Fina," ucap Tifanny dengan wajah sedikit sedih.

Tiba-tiba Efinna meletakkan kepalanya di atas meja, lalu menutup seluruh wajahnya dengan lengannya.

"Fina nangis?" tanya Tifanny. "Fina seharusnya jangan nangis...! Fany tadi cuma bercanda doang," Tifanny menampar mulutnya berkali-kali karena menyesal telah mengatakan "Fina, kalau lo mau nangis...nangis aja!"

"Fina itu seharusnya jadi orang yang kuat dan berani ngelawan mereka," sambung Tifanny yang ikut menurunkan kepalanya.

Tifanny menyangga kepalanya dengan lengan sebagai bantal sembari menghadap ke Efinna. Tifanny merasa sangat sedih menyaksikan Efinna yang begitu menderita. Namun, Tifanny lebih sedih lagi, karena ia belum bisa membantu Efinna. Saudari kembarnya.

Tifanny Selgiani adalah arwah yang telah bergentayangan selama dua tahun terakhir. Dia tidak memiliki tujuan dalam gentayangan nya ini. Maka dari itu, dia selalu mengikuti Efinna Selgiana. Saudari kembarnya. Kemanapun, dimanapun, kapanpun, Tifanny selalu berada di dekat Efinna.
Hampir dua tahun pula Tifanny menyaksikan penderitaan yang menimpa saudari kembarnya. Sangat sakit. Karena ia hanya diperbolehkan melihat, tidak bertidak. Melihat Efinna menangis, rasanya Tifanny ingin mati untuk kedua kalinya.

"Fina itu cantik, pintar. Kaya Fany. Tapi..kenapa Fina harus takut sama mereka-mereka?" imbuh Tifanny. "Fina itu lebih unggul dari mereka semua. Dalam segala hal."

Rasa keputus asaan Efinna tergambar sangat jelas. Efinna mengeluarkan suara isakan, namun lirih. Tifanny yang mendengarnya pun, menjadi semakin khawatir.

Efinna tetap menyembunyikan wajahnya di dalam tekukan tangannya.

"Fina...Fina jangan nangis..!" ucap Tifanny yang berusaha menenangkan Efinna. "Maafin Fany..! Fany belum bisa bantu Fina," lanjut Tifanny dengan mengeluarkan air mata.

Langkah kaki terdengar memantul ke telinga Efinna dan juga Tifanny. Tifanny mengalihkan pandangan yang semulanya mengarah ke Efinna, kini menjadi lurus ke depan. Kesedihan Tifanny langsung menyurut disaat itu juga. Ia melototkan mata, serta menggigit geram.

Efinna menegakkan kepalanya ketika mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekatinya. Dia tahu siapa pemilik suara langkah kaki itu. Dia sudah sangat akrab dengan suara ini. Tidak ada yang pernah mendatangi bangku paling belakang disaat jam istirahat. Kecuali Meisya, Ara, dan juga Indri. Mereka bertiga adalah orang yang selama ini selalu membuat Efinna ketakutan, tertekan, dan menangis. Dan mereka bertiga juga yang membuat Tifanny kesal, marah, dan selalu mengutuk mereka.

Efinna menyeka air matanya dengan cepat, lalu menundukkan wajahnya. Efinna merasa lelah akan hal ini. Setiap hari ia harus menjalaninya. Menuruti semua permintaan dari ketiga cewek ini.

"Fina, besok lo jangan lupa untuk datang pagi! Karena besok hari piket gue, lo inget kan?" peringat Meiysa dengan sangat santai.

Efinna menganggukkan kepala tanpa ragu, dia tidak mempertimbangkan itu sama sekali. Dia langsung setuju begitu saja.

Tifanny's MissionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang