Empat

233 64 26
                                        

Meisya menarik rambut Efinna dengan kuat, lalu membenturkan kepalanya ke dinding. Meisya saat ini benar-benar meluapkan seluruh kemarahannya pada Efinna, dengan didampingi Ara. Sedangkan Indri, bertugas menjaga tempat. Indri berdiri jauh dari Meisya, Ara dan juga Efinna.

Mereka berempat saat ini berada di halaman belakang sekolah. Walaupun jam sekolah telah berakhir, tapi kewaspadaan selalu diutamakan oleh Meisya. Dia tidak mau ada orang lain yang menyaksikan ini. Bisa-bisa ini akan menjadi bencana besar baginya. Tapi ini seperti akhir bagi Efinna.

Efinna merintih kesakitan dengan air mata yang terus membasahi pipinya.

"TOLONG...!!! TOLONG.....!!!" teriak Tifanny sembari menangis.

Walaupun dia tahu usahanya ini tidak akan berhasil, tapi secara naluri dia masih ingin digolongkan sebagai manusia, yang membutuhkan pertolongan orang lain.

Meisya kembali menarik rambut Efinna. "Lo emang sengaja kan?" tanya Meisya.

Efinna menggeleng-gelengkan kepalanya sembari terus menangis.

"Ngaku aja Fin!" desak Ara. "Elo bohong pun nggak ada gunanya!" sambung Ara.

"Ara, lo bener-bener licik. Fina nggak salah sama sekali. Justru elo yang salah," ungkap Tifanny dengan suara lantang sembari menunjuk tegas wajah Ara.

"Meisya tolong dengerin gue Meisya...gue mohon...!! Kali ini kembaran gue nggak bersalah," imbuh Tifanny sembari menangis, dan berharap bahwa Meisya akan mendengarnya. Walaupun mustahil.

"Lo pasti udah kangen gue perlakuin kaya gini," ujar Meisya sembari tersenyum licik.

Efinna kembali menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menangis tanpa suara.

Disetiap situasi Efinna diperlakukan semena-mena oleh Meisya, Tifanny lah orang yang paling merasa tersakiti dan orang yang menangis paling kencang.

"Kangen? Bukannya lo setiap hari memperlakukan Fina dengan keji?" Tifanny melontarkan pertanyaan yang cukup sengit.

"Kemarin...aku udah bilang sama Ara," ungkap Efinna dengan suara pelan. "Aku bilang...untuk suruh ngitung lagi. Dan aku udah berusaha cegah dia, waktu mau ngumpulin lembar jawaban," sambung Efinna dengan tubuh yang gemetar ketakutan.

Meisya mengerutkan keningnya. "Ara?" ia bertanya meminta penjelasan ulang dari Efinna.

Efinna menganggukkan kepala dengan yakin. lalu Meisya melepaskan tarikan pada rambut Efinna.

Tifanny menghela napas lega, lalu mendekati Efinna. Ia mengecek apakah Efinna mengalami luka. Tifanny menangis kembali, ketika melihat kembarannya ketakutan setengah mati.

"FINA....." Tifanny menangis terisak-isak sembari memegang pipi Efinna.

Mata Meisya kini beralih menatap Ara. "Jadi elo?"

"Elo percaya Sya?" tanya Ara balik.

"Woahh..gue nggak nyangka, lidah lo bisa ngelilit juga Fin," Ara menatap Efinna dengan kebencian.

"JAWAB GUE RA....!!" desak Meisya dengan memekik.

"Enggak," jawab Ara dengan datar. "Gue bilang enggak Sya," ulang Ara.

Meisya kini beralih menatap Efinna kembali. "Elo denger? Ara bilang enggak."

"Tapi..." Efinna yang berusaha menjelaskan.

"Berdiri lo!" perintah Meisya dengan tenang.

"JANGAN...!!!" cegah Tifanny yang berusaha menarik tangan Efinna. Namun tak bisa ia gapai.

Tifanny's MissionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang