Enam Belas

86 16 0
                                    

Tifanny telah selesai mandi. Ia segera merapikan tempat tidur. Apakah bisa dikatakan, kamar Efinna sekarang menjadi kamar Tifanny juga?

Tifanny memeriksa tubuhnya dari bawah sampai atas. Apakah masih ada atribut sekolah yang belum terpakai? Rasanya sedikit aneh untuk memulai hidup dengan identitas milik orang lain.

Tifanny kembali berdiri di depan cermin. Seragam putih abu-abu membalut tubuhnya saat ini. Tifanny mengambil sisir, lalu menyisir rambutnya dengan wajah datar. Sulit untuk memercayai ini.

"Apa boleh...gue merebut identitas kembaran gue sendiri?" Tifanny bergumam di depan cermin sembari menyisir rambutnya. "Apa boleh, gue ngejalanin kehidupan orang lain? Apa semua ini nggak salah?"

"Apa gue bisa hidup sebagai Fina?" Tifanny terus bergumam.

Tifanny menghela napas berat. "Mungkin, dengan begini...gue bisa mencegah Fina berbuat nekat. Gue harus pake kesempatan ini untuk nyelesain semua masalah Fina."

"Tapi...gimana caranya gue keluar dari tubuhnya Fina? Nggak mungkin kan gue selamanya kejebak dalam tubuh Fina?" Tifanny menggigit bibir bawahnya. Ia mengkhawatirkan ini.

"Seburuk-buruknya hidup Fina, lebih buruk lagi kalau gue masuk ke dalam tubuhnya," Tifanny menatap wajah Efinna yang ada di cermin.

"Kalau gue nggak bisa keluar gimana?" Tifanny panik.

Tifanny merasa bersalah dan takut. Merasa bersalah karena telah merebut identitas Efinna. Merasa takut jika tidak bisa keluar dari tubuh Efinna.

Tifanny telah selesai menyisir rambutnya. Ia membiarkan rambutnya tergerai dengan satu jepit rambut di sisi kiri. Tifanny meletakkan sisirnya. Ia menyudahi untuk bercermin.

Tifanny membalikkan badan, lalu menarik napas dengan panjang sembari memejamkan matanya.

"Gue harus keluar dari tubuh ini!" gumam Tifanny setelah membuka matanya kembali.

Tifanny menegakkan tubuhnya, lalu melompat dengan tinggi. Tidak hanya sekali, namun berkali-kali. Entahlah dari mana Tifanny mendapatkan ide ini untuk keluar dari tubuh Efinna.

Tifanny melipat kakinya. Napasnya terdengar terengah-engah. Cara ini sama sekali tidak dapat membantu, justru melelahkan.

Tifanny menghela napas berat, lalu kembali berdiri dengan tegak. Matanya terlihat sangat fokus, menatap lurus ke depan.

Satu kaki Tifanny maju ke depan. "Satu, dua, tiga!" Tifanny berlari pada hitungan ketiga.

Brak

Bukannya keluar dari tubuh Efinna, Tifanny justru kembali menabrak pintu.

Tifanny memekik kesal. Ia kembali ke tempat semula, lalu menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur dengan berkali-kali. Tetap saja tidak bisa keluar dari tubuh Efinna.

"Fina!" panggil Bu Yeni dari lantai bawah dengan suara keras.

"Arghh," Tifanny menaikkan kedua kakinya ke atas dengan kesal.

Tak lama kemudian Tifanny turun dari tempat tidur. Dia tidak mau Bu Yeni curiga terhadapnya. Tifanny berjalan dengan malas, dia tidak ingin menjalankan ini. Ini sungguh tidak masuk akal bagi Tifanny. Bagaimana caranya menjalankan hidup Efinna, tanpa membuat orang lain curiga? Jika Tifanny yang melakukannya, sudah dapat dipastikan, semua orang akan tahu jika itu bukan Efinna yang seperti biasanya.

Lagipula bukan ini yang Tifanny inginkan. Memang benar ia ingin membantu Efinna dalam menghadapi berbagai masalah, tetapi bukan dengan cara seperti ini. Bukan harus menjadi Efinna.

Tifanny's MissionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang