Lima

201 63 0
                                    

Tifanny berjalan menembus pintu rumahnya. Ia mencari di mana keberadaan Efinna saat ini. Rumahnya masih tampak sepi, pasti Bu Yeni belum pulang.

Tak lama kemudian Tifanny mendapati Efinna berjalan menuju dapur. Tifanny langsung mengikuti kemana Efinna melangkah.

Mereka berdua sudah tiba di dapur. Tifanny menduduki kursi yang disediakan di dekat meja makan. Ia tak berhenti memandangi kembarannya itu. Apalagi setelah kejadian tadi, pasti saat ini Efinna merasa sangat sedih dan ketakutan. Dan Tifanny, merasa sangat khawatir akan hal itu.

Efinna mengambil mi instant, lalu menyalakan kompor.

"Makan mi instant terus nggak baik buat kesehatan," ujar Tifanny.

Hampir setiap hari Efinna menyantap mi instant. Dan karena itu pula, Tifanny selalu memberikan nasihat pada Efinna. Sedih rasanya, karena seperti orang gila. Yang selalu berbicara sendiri.

Setelah mi instant siap, Efinna langsung menyantapnya di meja makan. Ia duduk berhadapan dengan Tifanny.

Efinna melahap mi di depannya, dengan tatapan kosong dan ditemani kursi yang kosong pula. Dia tidak pernah bisa merasakan makan bersama orang tuanya. Dia selalu makan sendiri, karena Mamanya terlalu dan selalu sibuk dengan pekerjaan kantor.

Kesibukan Bu Yeni sampai-sampai membuat ia lupa kalau di rumah ada seseorang yang selalu menunggu, dan membutuhkannya. Namun, sesungguhnya Tifanny selalu ada. Menemani Efinna.

"Nanti kalau Mama pulang, Fina mau jawab apa? Apa Fina bakal bilang abis di tampar temen?" Tifanny melontarkan pertanyaan sembari memperhatikan Efinna yang sedang menyantap mi.

Efinna tetap diam. Kali ini ia tidak menangis seperti biasanya. Ia tetap memasang wajah datar itu. Mungkin ia sudah kebal dengan rasa sakit ini.

Setelah selesai makan, ia langsung mencuci mangkok itu dengan bersih, lalu meninggalkan dapur.

Tifanny mengikuti Efinna dari belakang, selalu seperti ini.

"Fina, jangan masuk kamar dulu dong...! Nonton tv kuy?" bujuk Tifanny. "Fina please.....!!" desak Tifanny sembari merapatkan kedua tangannya.

Tifanny tahu kalau saat ini Efinna dalam keadaan yang tidak baik, meskipun Efinna bersikeras tidak menunjukkan itu. Mungkin dengan menonton televisi, keadaan Efinna bisa membaik. Hanya itu yang terlintas dipikiran Tifanny saat ini.

Efinna tiba-tiba menghentikan langkahnya. Tifanny pun menghentikan langkahnya, mengikuti gerakan dari Efinna.

Efinna mendongakkan wajahnya, sembari menghela napas berat.

Suara helaan napas Efinna dapat tersampaikan ke telinga Tifanny. Tifanny yang mendengarnya pun langsung melangkah maju. Ia mensejajarkan diri dengan Efinna.

"Kenapa Fin?" tanya Tifanny.

"Kenapa?" tanya Efinna.

Tifanny terkejut saat mendengar Efinna melontarkan pertanyaan balik. Apakah dia dapat mendengarkan Tifanny?

Tifanny yang semulanya berdiri di samping Efinna, kini ia telah berpindah posisi. Ia saat ini berdiri tepat di hadapan Efinna.

"Fina bisa dengerin suara Fany?" tanya Tifanny pelan.

"Kenapa? Kenapa aku harus hidup kaya gini?" keluh Efinna dengan bibir yang sedikit bergetar.

Wajah Efinna mengeriput, ia menahan desakan air mata yang meminta keluar itu. Dia berusaha untuk menjadi manusia yang tegar, walaupun sesungguhnya ia sudah mulai jenuh dengan hidupnya yang selalu seperti ini.

Tifanny's MissionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang