Seluruh murid kelas 11 IPA 2 sedang berkumpul di lapangan basket. Saat ini adalah jam olahraga. Tifanny selalu bersemangat dengan jam sekolah ini. Hanya dalam jam ini lah dia bisa melihat Efinna tenang tanpa ada yang mengacau.
"Ayo-ayo baris ke tempat masing-masing!" perintah guru olahraga yang berkepala plontos. "Putra sebelah kiri! Putri sebelah kanan!" sambungnya yang berdiri di tengah-tengah kedua barisan, antara anak putra dan putri.
Tifanny tak hanya diam, berdiri dari kejauhan dan menyimak apa yang sedang terjadi. Dia juga ikut berbaris, tetapi di barisan anak laki-laki. Di sinilah sisi genit Tifanny keluar. Tifanny tidak hanya selalu menangis, dia juga butuh penyegaran. Cowok-cowok contohnya.
"Irfan...lo tuh ganteng banget sih..." gemas Tifanny sembari menempelkan kepalanya ke lengan Irfan dengan manja.
Tifanny menegakkan kepalanya, lalu ia memegang lengan Irfan. Ia menekan-nekan lengan besar itu, lalu menepuk-nepuknya.
"Woaah...gede bener otot lu."
"Ini baru namanya laki-laki," ujar Tifanny, kemudian ia kembali menjatuhkan kepalanya ke lengan Irfan yang tampak gagah itu. "Gue nggak tau, sejak kapan gue jadi arwah yang gila kaya gini," sambung Efinna.
Kemudian Tifanny berpindah haluan. Kini ia berjalan mendekati Wisnu. Ia berhenti tepat di depan Wisnu, lalu merendahkan tubuhnya.
"Halo Wisnu tampan! Udah lama, nggak ngeliat kamu sedekat ini," sapa Tifanny sembari melambaikan tangan dari bawah. "Dari bawah sini...wajah kamu itu sempurna," sanjung Tifanny sembari menopang dagunya.
"Arrghh......terlalu tampan. Lama-lama gue bisa kesurupan kalau natap lo terus," pekik Tifanny sembari mengacak-acak rambutnya.
Tifanny kemudian berdiri, lalu mendekatkan wajahnya ke Wisnu. "Andai...gue masih hidup, pasti gue udah ngemis-ngemis buat jadi pacar lo," ungkap Tifanny sembari mengerucutkan bibir. Ia merasa sedikit kecewa, karena telah kehilangan kesempatan untuk mengenal Wisnu, dengan status manusia yang masih hidup.
Tifanny menghela napas kesal. Lalu melangkahkan kaki ke depan, meninggalkan Wisnu. Ia berjalan ke barisan selanjutnya. Perjalanannya tak terlalu panjang. Ia akhirnya berhenti di samping Nuha.
"Tinggi, pinter, baik, ganteng...lumayanlah," ujar Tifanny, berdiri di samping Nuha.
Tifanny mengendus-endus bau badan Nuha. "Lo pake minyak wangi apa sih? Wangi bener."
"Cuma...lo tuh nggak spesial bagi gue. Nggak ada daya tariknya, terlalu ngebosenin. Tapi lo wangi," gerutu Tifanny sembari melipat tangan. "Tapi...kalau lo adalah pilihannya Fina, bisa bikin dia.. bahagia, yah...gue harus terima itu. Dan...bantuin Fina supaya bisa ngedapetin lo," Tifanny menepuk-nepuk bahu Nuha, bermaksud memberikan semangat.
"Ini...bukan minyak wangi buat melet orang kan?" tuding Tifanny dengan prasangka buruknya.
Tifanny keluar dari barisan tersebut, lalu berdiri tepat di samping Pak Wahyu. Guru olahraga.
Tifanny melipat tangannya sembari mensejajarkan diri dengan Pak Wahyu. Tifanny menjinjit, berusaha menyamai tinggi badan Pak Wahyu.
"Botak bersinar," cibir Tifanny sembari melirik kepala Pak Wahyu.
"Anak-anak, hari ini kalian akan memainkan permainan basket. Karena minggu lalu anak putra sudah berkesempatan memainkan permainan tersebut, maka dari itu.. hari ini anak putri yang akan memainkannya," terang Pak Wahyu.
"Kalau anak cowok itu sudah tidak perlu dikritiki lagi mengenai basket. Karena, hampir sebagian dari mereka sangat mahir. Terutama Irfan, karena dia adalah kapten basket di sekolah kita."

KAMU SEDANG MEMBACA
Tifanny's Missions
FantasiaTifanny Selgiani menjadi arwah gentayangan sejak kematiannya genap empat puluh hari. Dia selalu mengikuti kemana kembarannya berada, Efinna Selgiana. Efinna adalah gadis yang pintar, pendiam serta penurut namun selalu menjadi sasaran bully dari tema...