Delapan

147 44 4
                                    

Meisya, Ara, dan Indri sedang duduk di salah satu bangku kantin. Meisya dan Ara terlihat sangat senang, bahkan mereka tidak berhenti tertawa sejak tadi. Berbeda dengan Meisya dan Ara, Indri tidak ikut tertawa seperti sahabatnya itu. Dia tidak sesenang mereka.

Indri hanya menikmati makanan di depannya, tanpa menoleh ke arah kedua sahabatnya itu.

Persahabatan mereka benar-benar tidak seasik dulu. Indri merasa dirinya telah tersesat dalam lingkungan pertemanan ini. Indri benar-benar muak dengan semua yang terjadi. Hanya saja, dirinya belum seberani nuraninya. Sangat berat untuk lepas dari Meisya dan Ara.

Meisya memancarkan mata yang begitu terang, dengan senyum lebar di garis wajahnya. Dia terlihat sangat senang. Begitu juga dengan Ara.

"Ra, kalo keinget kemaren itu...gue nggak bisa berenti ketawa tau nggak?!! Pokoknya lo harus tanggung jawab!" ujar Meisya sembari tertawa.

"Sama Sya gue juga," timpa Ara sembari tertawa pula. "Eh, tapi kok gue sih yang harus tanggung jawab?" bingung Ara.

Meisya mengerucutkan bibirnya, lalu menatap Ara dengan gemas.

"Iye terus siapa?" tanya Meisya sembari tersenyum.

"Em...Fina lah," jawab Ara spontan.

"Kemaren itu kocak parah," ungkap Meisya sembari menepuk-nepuk meja kantin dengan tertawa terbahak-bahak. "Muka Fina tuh...lucu banget kemaren. Tubuhnya pasti dingin ketakutan," lanjut Meisya.

"Dingin...? Kaya iklan di tv deh," ujar Ara.

"Eh Ndri, lo kok nggak ikut ketawa sih?" heran Ara.

Indri menarik napas panjang, lalu menegakkan punggungnya.

Indri menoleh ke arah Ara dengan mata sinis. "Lo pikir semua ini lucu?" sinis Indri.

"Parah. Ini tuh bener-bener parah lucunya," jawab Ara lantang.

Indri mendengus kesal. "Gak ada hal yang perlu diketawain!" tegas Indri.

"Seharusnya kalian berdua itu sedih! Kejadian kemaren itu ngebuat satu orang dimusuhin satu kelas!" kata Indri dengan raut wajah serius. "Anak-anak di kelas kita jadi nggak akur," sambung Indri.

"Eh Ndri, lo tu udah kelewatan tau nggak!" ujar Ara sedikit kesal. "Nggak perlu nge ngas gitu juga kali."

"KALIAN BERDUA YANG KELEWATAN!!!" ungkap Indri dengan lantang.

Meisya spontan menoleh ke Indri saat mendengar suara Indri meninggi.

"Indri, kenapa kita harus sedih dengan kejadian ini? Bukannya dari dulu Fina itu emang mainan?" tutur Meisya dengan mata menyipit.

Indri mengerutkan keningnya. "Mainan?" Indri mendengus kesal.

"Hanya orang-orang berhati iblis yang menganggap manusia itu mainan!" sindir Indri.

"Lo bilang apa tadi?" tanya Ara dengan suara nyaringnya. Dia berusaha untuk membela diri.

"Ara, jangan teriak-teriak!" larang Meisya dengan suara lirih. "Di kantin banyak orang," sambung Meisya.

"Tapi gue nggak tahan denger omongan Indri," gumam Ara lirih sembari menunjuk Indri.

"Indri, lo harusnya gak sesedih ini. Bukannya kita setiap hari juga gitu ke Fina?" kata Meisya santai.

"KITA?" Indri mengulang penggalan kalimat dari Meisya.

Tiba-tiba Indri tertawa sembari menatap Meisya dan Ara dengan lekat.

Meisya dan Ara mengernyit karena merasa bingung dengan tingkah Indri.

Indri berdecak kesal. "Jangan pernah libatin gue dalam kata KITA!!! Karena gue nggak pernah berperilaku kasar seperti kalian."

Tifanny's MissionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang