Delapan Belas

132 12 42
                                    

Banyak kertas-kertas yang terlihat sangat penting tertempel memenuhi dinding kamar gadis itu. Meisya, dia selalu menyalin kembali materi dari sekolah dan menempelkan di dindingnya. Terlihat penuh dan juga bisa membuat mata sakit, karena seakan-akan membuat kita dipaksa belajar ketika melihatnya.

Meskipun usaha dan tekad Meisya sangat besar untuk menjadi orang yang jenius, tetapi tetap saja kemampuan setiap orang pasti berbeda, dan kemampuan Meisya tidak sampai di sana. Namun, Meisya tidak pernah menyerah.

Kini gadis itu sedang menyalin materi dari sekolah, ia menuliskan beberapa pasal Undang-Undang Dasar yang dibahas saat kegiatan belajar mengajar tadi. Sebelum ia menempelkannya di dinding, ia selalu membacanya terlebih dahulu.

Setelah menempelkan beberapa pasal yang tertulis di atas kertas itu, Meisya menghela napasnya. Kamarnya benar-benar berbeda dari gadis SMA yang lain. Jika gadis SMA yang lain sangat terobsesi mendekorasi kamarnya untuk menjadi tempat yang indah mengambil foto, Meisya sama sekali tidak pernah berpikiran ke arah sana.

Tok tok tok

Meisya langsung menoleh ke sumber suara. Pintu kamarnya telah diketuk. Meisya tidak bisa mengatakan "Iya buka!" atau "Silahkan masuk!"

Meisya benar-benar menghormati kedua orang tuanya. Ketika pintu diketuk, Meisya lah yang berjalan untuk membukakan pintu.

Meisya berdiri dari duduknya, ia mematikan lampu yang menyala di meja belajarnya

Meisya berjalan menuju pintu, lalu membukanya.

"Papa," seru Meisya dengan gugup.

Pak Jordan tersenyum lebar hingga memperlihatkan gigi-giginya. Pak Jordan berjalan masuk ke dalam kamar Meisya.

"Kamar kamu bagus sekali Meisya. Semua orang tua di luar sana pasti sangat iri dengan Papa, karena memiliki anak seperti kamu," puji Pak Jordan sembari melihat-lihat kertas yang tertempel di dinding.

Meisya menghela napas lirih. Meisya yakin, tidak ada orang tua yang ingin melihat pemandangan seperti ini, kecuali Papanya.

Pak Jordan menghentikan langkahnya, Meisya pun ikut berhenti.

Pak Jordan membalikkan badannya, menghadap Meisya.

"Maafin Papa! Waktu itu Papa lepas kontrol," ucap Pak Jordan dengan raut wajah menyesal.

"Meisya nggak pernah menganggap Papa salah. Papa jangan menatap Meisya dengan wajah seperti itu, Meisya nggak suka."

"Kamu nggak lupa kan, Papa ini pemilik yayasan? SMA Abdi Negara adalah salah satu sekolah terbaik di Indonesia. Lulusannya gak main-main, di Indonesia yang memiliki jabatan-jabatan tinggi dan gedung-gedung yang menjulang itu adalah lulusan dari SMA kita. Kakek dulu juga mendidik Papa dengan keras. Maka dari itu Papa menjadi orang yang sukses, dan masih sanggup memimpin yayasan yang telah menjadi aset penting dari keluarga kita," cerita Pak Jordan mengungkapkan segalanya.

Sebenarnya Meisya sudah tidak terkejut lagi dengan cerita ini, hampir setiap hari ia mendengar cerita yang sama.

"Papa tidak mau kamu menjadi orang yang gagal, meskipun hanya satu persen. Papa ingin kamu menjadi orang yang sukses dengan seratus persen," imbuh Pak Jordan.

Meisya hanya tersenyum terpaksa menanggapi ini.

"Meisya yakin, Meisya...akan sukses seratus persen!" ujar Meisya yang tampak sangat yakin, namun gerak tubuhnya tidak bisa berbohong. Saat mengatakan itu kesepuluh jemarinya terus bergerak, seperti ada keraguan dan di sisi lain seperti ada ketakutan yang ia sembunyikan.

Pak Jordan mendaratkan telapak tangannya di pucuk kepala Meisya. Pak Jordan mengelusnya dengan lembut, seolah puas dengan jawaban dari Meisya.

***

Tifanny's MissionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang