Efinna berjalan mengindip-indip menuju kamar Bu Yeni. Berulang kali ia memastikan bahwa kedaan saat ini benar-benar aman. Dia sangat berharap, kali ini ia bisa berhasil. Sudah lama sekali ia menahan semua ini.
Saat tepat di depan kamar Bu Yeni, Efinna menghela napas dalam-dalam. Dia sangat lega, karena ia bisa berhasil sampai di sana. Kemudian, ia menghembuskan napas lewat mulut dengan sedikit penekanan. Dia berusaha untuk menyemangati dirinya sendiri.
Efinna membuka kamar Bu Yeni dengan sangat hati-hati. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan, bahwa keadaan benar-benar aman.
Efinna berjalan memasuki kamar Bu Yeni. Tak lupa juga, ia menutup pintu kamar kembali. Efinna berjalan dengan sangat hati-hati, ia berusaha berjalan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
***
Tifanny menarik napas panjang, lalu tersenyum lebar. Ia mengendus-endus bau harum yang dikeluarkan oleh nasi goreng buatan Mamanya.
Tifanny membasahi bibirnya dengan air liurnya. Dia sangat menginginkan nasi goreng itu. Rasa ingin mencicipinya memuncak drastis. Tapi sayang, menyentuh piringnya saja tidak bisa. Apalagi memakannya.
"Nggak papa," Tifanny berusaha menenangkan diri sembari tersenyum. "Meskipun Fany gak bisa merasakan masakan dari Mama, tapi Fany seneng. Karena Mama masak ini untuk Fina. Fina pasti seneng. Karena Mama jarang banget, masakin buat Fina," lanjut Tifanny.
Bu Yeni menghela napas lega. "Alhamdulillah, akhirnya selesai juga," gumamnya sembari tersenyum senang.
"Fina pasti seneng," ujar Bu Yeni
"Kenapa...Fany jadi iri?" mata Fany mulai berkaca-kaca. "Mama nggak pernah...sekali aja bahas aku di rumah ini. Mama punya masalah sama Fany?" tuding Tifanny.
Tifanny mengusap air matanya, lalu mencoba untuk tersenyum.
"Enggak. Gue nggak boleh kaya gini. Mama pasti sayang sama gue. Gue kan juga anaknya. Mungkin...Mama juga belum tau, kalau gue...udah, meninggal."
"Harus cepet-cepet panggil Fina nih. Keburu dingin nanti nasi gorengnya," ujar Bu Yeni, lalu berjalan meninggalkan meja makan.
Tifanny tidak mengikuti Mamanya pergi. Ia masih terpaku di meja makan, sembari menatap nasi goreng itu. Bukan karena sedih tak bisa mencicipinya, melainkan iri.
***
Efinna mencari-cari di mana ponsel Mamanya berada. Dia yakin, tadi Mamanya tidak membawa ponsel ke dapur.
Walaupun sedikit memakan waktu dalam mencari, akhirnya Efinna berhasil menemukan ponsel milik Mamanya.
Ia langsung mengambil ponsel itu, lalu menghubungi seseorang.
Efinna menempelkan ponsel tersebut ke telinganya. Ia menggigit kukunya karena gugup.
"Angkat dong Tan!" gugup Efinna.
"Halo," suara dari ponsel saat panggilan terhubung.
Efinna masih saja terserang gugup. Ia tidak menyahutnya.
"Yeni?"
Orang yang sedang dihubungi oleh Efinna adalah Tante Salma. Tante Salma adalah sepupu dari Mamanya.
"Halo?" ucap Tante Salma ulang, memastikan apakah panggilan masih terhubung.
"Ha--halo," sahut Efinna dengan terbata-bata.
"Ada apa Yen?"
"I--ini...Fina Tante," jelas Efinna.
"Fina?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Tifanny's Missions
FantasyTifanny Selgiani menjadi arwah gentayangan sejak kematiannya genap empat puluh hari. Dia selalu mengikuti kemana kembarannya berada, Efinna Selgiana. Efinna adalah gadis yang pintar, pendiam serta penurut namun selalu menjadi sasaran bully dari tema...