Chapter 8

13.3K 1.1K 31
                                    

Pertama kalinya, aku menyukai dosa ini. Mencintaimu.

"Ssh." Aku meringis saat tidak sengaja mengiris jari telunjuk. Darah menyeruak begitu banyak. Bahkan sampai menetes mengotori lantai. Sejenak, pikiranku dialihkan dengan bagaimana caranya untuk membersihkan noda-noda darah ini.

"Via, astaga. Cepetan obatin. Ada kotak P3K di kamar Mbak." Mbak Rista masuk setelah mengantar makanan ke meja makan. "Ini biar Mbak yang bersihin. Kalau Nyonya Erisha lihat, dia bisa marah. Beliau phobia sama darah."

"I-iya, Mbak." Aku segera menuju ke lorong yang menghubungkan kamar pembantu. Kamar Mbak Rista yang memang berhadapan langsung dengan kamarku, dibuka pintunya. Laci-laci plastik kugeledah, dan menemukan kotak obat.

Napasku berembus kasar, setelah telunjuk sudah diperban.

Pertama kalinya, aku menyukai dosa ini. Mencintaimu.

Lagi, kalimat Tuan Alfan mengacaukan pikiranku. Sama sekali tidak bangga karena dicintai banyak orang, aku malah risau dia bisa berpeluang menjadi perusak hubunganku dengan Tuan Althaf.

Setelah merapikan kotak obat, aku beranjak keluar. Makan malam harus segera diselesaikan. Apalagi karena insiden kecil tadi, Mbak Rista pasti keteteran sekarang.

Kegiatan memasak sudah diselesaikan. Aku hanya membantu membawa semua makanan ke meja makan. Satu persatu, anggota keluarga sudah duduk di kursinya. Senyumku melebar saat Tuan Althaf pulang lebih cepat untuk makan malam. Inisiatif sendiri, aku meletakkan masakanku di depannya. Gugup. Berharap dia menyukainya. Namun, pria itu tidak bergeming. Fokus pada ponselnya yang menampilkan e-mail.

"Ini buatan kamu, Via?" Suara Tuan Althaf terdengar, tapi bukan darinya. Aku bahkan kelimpungan berputar untuk mencari sumber suara.

Tuan Alfan.

Dia langsung menerobos sup di depan Tuan Althaf, menyajikan sebanyak-banyaknya di piringnya.

"Tuan ...." Aku ingin memperingatkannya, tetapi dia memotong dengan cepat.

"Mama sudah kasih izin aku makan sembarangan."

Dengan kuah sup yang banyak di piringnya, aku langsung mengambil mangkok tersebut. Takut Tuan Althaf tidak mencicipinya.

"Tante, Chayra juga mau sup."

Maka aku memberikan tiga sendok pada piring Nona Chayra.

Setelahnya, aku berniat menyajikannya sendiri pada Tuan Althaf. Namun, piringnya begitu cepat lenyap dari pandangan. Ditarik oleh Nona Selvy yang tidak kusadari telah duduk di samping Tuan Althaf.

"Aku sajiin ya? Aku tau makanan kesukaan kamu. Nasi, ayam goreng, sedikit sambal, dan kamu nggak suka sup kan?" ucapnya, membuatku lemas dan meletakkan kembali mangkok di atas meja.

"Kalian makin romantis saja. Mama nggak sabar nunggu dua minggu buat lihat kalian menikah," ujar Nyonya Erisha saat aku baru saja melewati ruang makan.

Dua minggu lagi?

Dan mereka-Nona Selvy dan Tuan Althaf-sama sekali tidak menunjukkan keinginan untuk saling menolak pernikahan mereka.

"Sup seenak ini nggak kalian makan. Aku yang habisin ya?" Masih terdengar suara Tuan Alfan.

"Dasar anak kecil," ucap Nyonya Erisha.

Semoga aku kuat sampai tiba masanya nanti.

***

Pertama kalinya, aku menyukai dosa ini. Mencintaimu.

Kalimat itu menggangguku lagi, memaksa untuk membuka mata. Melihat sekitar. Menemukan diriku terkurung dalam dekapan Tuan Althaf. Aku melonggarkan lengannya, guna melihat jam. Pukul sebelas malam.

Midnight WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang