Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kamu bisa paksa Alfan minum obat lagi? Anak besar itu semakin keras kepala saja. Oh Tuhan ...." Nyonya Erisha memijit pelipisnya sebentar. Kemudian, pandangannya terhunus tajam padaku. Penuh selidik.
"Kamu kenapa tidak ada di kamar Chayra?" Suasana mendadak tegang. "Jangan bilang ... kamu dari kamar Althaf."
Lidahku kelu. Alasan belum aku persiapkan untuk menghadapi masalah ini.
"Saya ...." Kepalaku memunduk mencari sisa-sisa ide yang sekiranya bisa digunakan.
"Dia antar kopi, Ma." Suara Tuan Althaf muncul dari belakang tubuhku, melancarkan lagi napas yang sempat tertahan di dada. "Sekalian, dia cerita semua tentang Chayra hari ini. Saya jarang bisa dekat lama dengan Chayra, jadi saya dapat semua informasinya dari Via. Bukannya memang begitu tugas pengasuh?"
"Betul." Nyonya Erisha mengiyakan tegas. "Saya akan tambah gaji kamu, Via, kalau mau jadi pengasuh Alfan."
Aku melongo, lalu menoleh pada Tuan Althaf yang sudah berdiri di sampingku. Meminta persetujuannya.
"Ma, Alfan sudah 25 tahun. Dia tidak butuh pengasuh, dia butuh istri." Tuan Althaf menolak.
"Mama belum menemukan perempuan yang selevel Selvy lagi. Sekarang, dia butuh pengasuh, dan Via sangat cocok untuk itu."
"Ma ...."
"Mama yang tahu kebaikan untuk keluarga ini, kamu tidak perlu ikut campur!" Nyonya Erisha menyela cepat ketika Tuan Althaf mencoba membela. "Via, ikut saya!"
Sambil menatap lantai, aku mengekor di belakang Nyonya Erisha yang menuntun ke kamar Tuan Alfan. Mencapai belokan, aku berbalik sebentar, melihat ekspresi tidak rela dari Tuan Althaf. Menunduk, lagi.
"Bubur Alfan sudah di dalam. Kamu tinggal bujuk dia makan, minum obat, dan pastikan dia tidur setelah itu. Setelah selesai, kamu bisa istirahat. Entah apa istimewanya kamu sampai dia hanya mau kamu yang mengurusnya," ucap Nyonya Erisha.
"Baik, Nyonya."
Setelah Nyonya Erisha pergi, pintu kamar aku ketuk dua kali. Lalu masuk sembari meminta izin. Tidak ada jawaban, hanya ada suara gumaman bernada bersama petikan gitar. Semuanya berhenti saat Tuan Alfan menyadari kedatanganku. Gitarnya di pindahkan ke bagian ranjang yang kosong. Dia tersenyum tipis padaku, yang malah memberi kesan aneh. Mengingat bagaimana pertemuan terakhir kali kami, dia seharusnya tetap sinis padaku kan?
"Tuan, Anda harus makan bubur." Mangkok di atas meja aku raih, hendak kuberikan padanya, tetapi Tuan Alfan menyodorkannya kembali.
"Aku sakit sudah seminggu lebih, dan selalu disodorkan bubur." Wow, suaranya bahkan sangat lembut dibandingkan sebelumnya. "Aku bosan bubur terus."