Chapter 2

17.8K 1.4K 36
                                    

Setelah naik kereta, aku memilih sebuah angkutan umum ke rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah naik kereta, aku memilih sebuah angkutan umum ke rumah. Chayra menunjukkan ketidaksiapannya. Dia mengeluh kepanasan dan sesak di dalam angkot. Bahkan, dia tidak segan mengomel jika ada aroma aneh yang mengganggunya.

Kami sampai di rumah. Pekarangan ditumbuhi rumput liar, jelas sekali jika rumah tidak dirawat selama aku pergi. Chayra lemas setelah turun dari angkot sehingga aku harus menggendongnya memasuki rumah. Koper tanpa isi, aku tinggalkan di pinggir jalan.

"Assalamualaikum, Yah."

Tidak ada jawaban.

"Ayah." Aku mengulang panggilan.

"Wa alaikumussalam." Ayah muncul dari kamarnya. Terlihat pucat. Aku menurunkan Chayra di kursi dan menghampiri Ayah untuk memeriksa keadaannya.

"Ayah kenapa? Badan Ayah panas."

"Ayah tidak tahu kalau kamu pulang sekarang." Ayah terbatuk dua kali. Sebenarnya beliau hendak batuk lagi, tetapi aku melihat wajahnya berusaha menahan hal tersebut. "Bagus pekerjaan kamu di kota?"

"Iya, Yah." Tanpa sadar, saliva tertelan karena baru saja berbohong. "Ayah sakit?"

"Biasa. Kan lagi musim hujan, banyak yang kena flu dan batuk." Ayah terbatuk lagi. Lebih kencang dari sebelumnya sehingga Chayra yang nyaris tertidur, kaget dan menangis.

"Itu anak siapa?" tanya Ayah saat aku berusaha menenangkan Chayra.

"Anak majikan Via, Yah. Dia sembunyi di koper pas Via pulang ke sini."

"Orangtuanya izinin?"

"Itu dia, Yah. Via nggak tau gimana caranya beritahu keluarganya kalau dia ikut Via. Via nggak punya hape."

"Pinjam punya Aini. Kamu harus beritahu orang tuanya. Nanti kamu dikira culik anak orang."

"Iya, Yah."

Aku ke rumah tetangga, sekaligus sahabatku. Tidak sulit untuk meminjam ponselnya sebentar, karena aku mengimingi pulsa 10.000 padanya.

"Chayra, nomor Daddy berapa?" tanyaku lembut.

"Dua."

"Dua?"

"Iya. Nomor Daddy ada dua. Satu untuk perusahaan, satu lagi untuk keluarga."

"Maksud Tante, Chayra sebutin nomor telepon Daddy. Yang Chayra hafal aja. Iya, Sayang?" ucapku diusahakan lembut, untuk mengirit sabar.

Chayra cemberut. Namun, tetap menyebutkan 12 digit nomor telepon Tuan Althaf. Butuh empat nada sambung, sampai suara Tuan Althaf terdengar di sambungan telepon.

"Halo?"

Aku terdiam sejenak. Merasakan sensasi aneh dari suara beratnya itu.

"Halo, Tuan Althaf?"

Midnight WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang