Chapter 11

12.9K 1.1K 38
                                    

Rumah ini tidak memiliki AC satupun, tetapi suhunya lebih sejuk daripada rumah megah keluarga Tuan Althaf. Nyaman sekali, sampai aku tidak lelah berdiri di dekat jendela hanya untuk mengamati puluhan pohon rindang di luar sana.

Pandanganku menggelap. Bukan karena mataku tertutup, tetapi karena matahari kian bersembunyi di balik pepohonan. Sebentar lagi magrib. Aku mundur beberapa langkah untuk menutup jendela.

"Mandi dulu, Via. Saya panggil Chayra. Kita salat magrib berjamaah."

Aku berbalik setelah mendengar titah Tuan Althaf. Dua anggukan ringan aku rasa cukup sebagai persetujuan atas ucapannya barusan. Lalu, aku menuju kamar mandi. Well, sekarang aku tahu tujuannya membeli pakaian banyak untukku. Ya ... untuk kejutan manis ini.

Saat guyuran air dingin menerpa seluruh tubuh, rasa hangat tetap mendominasi. Disebabkan oleh Althaf. Semua tentangnya: senyum, kejutan, termasuk sikap dinginnya membuatku ... nano-nano. Dan ini lebih fantastis dari sekadar bahagia.

Ritual mandi selesai beberapa menit. Aku mengeringkan badan seperlunya, karena waktu magrib akan segera tiba. Meski rambut belum sepenuhnya kering, aku tetap langsung mengenakan pakaian dan jilbab.

Saat keluar, Tuan Althaf dan Nona Chayra sudah menggelar sajadah. Awalnya aku berpikir untuk sembahyang dalam keadaan seperti ini saja-gamis disertai jilbab panjang. Karena, tidak ada mukena yang terbawa. Namun, entah darimana-atau mungkin memang sengaja disiapkan-Tuan Althaf menyodorkan mukena berwarna mint padaku.

Salat magrib dimulai. Dan untuk ke sekian kalinya, aku harus memuji Tuan Althaf dalam hati karena kelembutannya dalam membaca Alquran. Rasa lembut itu terasa merayap dari telinga ke hati siapapun yang mendengarnya.

Aku terlalu terpesona, salat magrib ini terasa berlangsung sebentar lagi. Setelah berdoa, aku disodori tangan oleh Nona Chayra. Setelah berjabat tangan, dia menarik punggung tanganku untuk dicium.

Manis sekali.

Tuan Althaf berbalik, dan aku bingung harus bagaimana. Ya, setelah kami salat bersama-kecuali saat di rumah Ayah-aku akan mencium punggung tangannya sebagai tanda taat padanya. Namun sekarang, keadaannya berbeda. Ada Nona Chayra di sini, dan apakah tidak aneh jika wanita asing bersalaman dengan ayahnya?

"Tante?" panggil Nona Chayra setelah melakukan ritual yang sama padaku, ke Tuan Althaf. "Kata Pak Haji, kalau sudah sholat, harus cium tangan orang yang lebih tua. Daddy paling tua di sini."

"Ah? Iya." Aku terkekeh canggung, dan menyodorkan tangan. Dia langsung membalas. Aku mulai merunduk, dengan debaran keras yang sama setiap kali berdekatan dengan pria ini. Seolah detak jantungku yang tidak karuan menjadi lagu romantis pengiring kebersamaan kami.

Tuan Althaf meraih ponselnya setelah aku kembali ke tempat semula. Begitu lincah, jemarinya menari di atas layar. Lalu saat dia beristirahat, denting smartphone miliknya terdengar. Dia menggerakkan jari-jari lagi, sebentar. Lalu menutup ponselnya.

"Kalian ganti mukena, saya keluar sebentar."

Dia tidak membutuhkan jawaban kami. Melepas peci, dan langsung keluar dari kamar.

"Dad must be preparing a surprise."

"Apa?" tanyaku, karena tidak terlalu fokus dengan gumaman Nona Chayra.

"Nothing."

***

Usai merapikan alat salat, aku dan Nona Chayra menuju ruang tengah. Tuan Althaf sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan kembali.

Ruang tengah kosong. Aku sempat sedikit panik karena hal tersebut. Namun, Nona Chayra cepat menarikku ke ruangan lain. Tempat sebuah meja berbentuk lingkaran berada, dan diapit oleh empat kursi kayu. Perhatianku langsung tertuju di sudut ruangan, di mana Tuan Althaf berdiri membelakangi kami. Tampak sibuk sehingga kami tidak diliriknya sedikitpun.

Midnight WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang