Chapter 1

24.2K 1.5K 57
                                    

Hampir sebulan aku berkelana di kota besar ini, tempat di mana kebanyakan orang berpikir, di sinilah takdir bisa berubah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hampir sebulan aku berkelana di kota besar ini, tempat di mana kebanyakan orang berpikir, di sinilah takdir bisa berubah. Orang yang tidak memiliki apa-apa saat datang, bisa menjadi siapa saja saat kembali ke kampung halamannya. Namun, aku terlalu tergiur dengan tawaran itu sehingga lupa, bahwa modal untuk mengubah nasib di kota besar adalah pendidikan, pengalaman, dan keberanian. Pendidikan hanya separuh, pengalaman hanya secuil, dan keberanian hanya ada di saat tertentu saja. Karena itulah, kini aku terlihat lebih menyedihkan daripada saat masih di kampung.

Uang hasil penjualan tanah Ayah kurang seratus ribu, sementara aku terus ditolak untuk menjadi seorang karyawan di warung atau tempat kerja lainnya.

Putus asa.

Aku ingin kembali pada Ayah, merawatnya yang terus saja sakit-sakitan daripada hanya menjadi sampah di kota ini. Namun, aku terlalu segan. Uang habis hanya untuk berjalan ke sana kemari, tanpa ada hasil pasti. Aku takut, Ayah akan begitu kecewa pada putri tunggalnya ini. Kami tidak punya harta apa pun lagi selain tanah yang Ayah jual, dan hartanya itu hampir aku habiskan.

Di sebuah pelataran toko, aku duduk, memandangi sebuah warung yang baru buka di seberang jalan. Saliva langsung mengaliri tenggorokan saat aroma harum masakan pemilik warung menyapa hidung. Memancing gemuruh dalam perut. Meneriakkan kata 'lapar' senyaring-nyaringnya, yang hanya bisa aku dengar. Tas aku buka, mengeluarkan semua sisa-sisa uang yang lusuh. Tersisa 76.500. Kakiku tertahan oleh nominal uang yang menghuni tas saat ini. Bahkan, uang tersebut tidak cukup untuk ongkos pulang.

Hanya bisa menyandarkan punggung di dinding toko. Menikmati siksaan perut yang meminta diisi. Teringat, bahwa terakhir kali aku makan adalah kemarin siang. Mataku tertutup lemah sebentar, lalu terbuka saat mendengar suara di sampingku. Seorang anak berusia sekitar 16 tahunan mengobrak-abrik tempat sampah. Botol air minum dikutip dari dalamnya, berpindah ke dalam karung kotor milik si anak. Setelah mendapatkan sekitar enam buah botol plastik, dia menutup tempat sampah kembali. Saat itulah, pandangan kami bertemu sebentar. Anak itu pergi memanggul karungnya yang sudah setengah terisi.

Apa itu jawaban dari harapanku datang ke kota ini?

Dadaku menggebu, merasa sebuah pertolongan datang. Aku segera berdiri sambil menenteng tas. Mengejar si anak yang menyeberang jalan. Terlalu fokus pada anak itu, aku tidak peduli sekitar. Terakhir kali terlihat hanya sebuah mobil melaju dari sebelah kanan begitu cepat. Tepat saat aku menoleh, tubuhku juga seperti diremukkan dengan kasar. Berputar. Lalu dibanting dengan kuat. Nyeri menyerang di seluruh penjuru tubuh.

"Pa, tinggalin aja, Pa. Ini masih sepi." Samar, terdengar lengkingan wanita.

Mataku mulai terpejam. Tidak sanggup menahan semua sakit.

"Papa tidak bisa, Ma."

Kesadaranku hilang bersamaan setelah mendengar suara bariton tersebut.

***

Dua hari kemudian.

Lengan baju aku tarik agar menutupi tanganku yang dibalut perban. Seorang wanita masuk ke ruangan, dengan wajah angkuh khas miliknya. Sejak aku tersadar, aku berusaha membiasakan diri dengan wajah dinginnya itu.

Midnight WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang