Chapter 14

11K 1K 39
                                    

Karena terbiasa, aku mudah terbangun saat tengah malam. Apalagi, ada gerakan-gerakan asing pada tempat yang kutiduri. Berbalik, dan menemukan punggung tegap dibalut kaus biru tengah menggeliat.

"Udah jam 12, ya?" Masih separuh kesadaran, aku berucap.

Bergeser sedikit untuk menuruni tempat tidur ini. Namun, aku merasa aneh. Ada yang salah ....

"Kamu mau ke mana?"

Apa dia amnesia? Ini jam 12. "Mau ke kamar."

"Kamar mana? Ini kamar kamu."

Aku mengerjap beberapa kali, mengumpulkan semua kesadaran.

Ranjang sempit. Lemari kayu kecil. Dan ruangan 4 meter persegi.

"Sekarang gantian, saya yang pindah kamar sekarang." Tuan Althaf mengucek matanya sebentar. Lalu menguap sekali. "Susah juga ternyata, ya? Pas lagi enak-enaknya tidur, harus pindah. Malas banget."

"Harusnya kamu nggak perlu ke sini."

"Saya merasa aneh kalau tidak peluk kamu."

"Jadi, beberapa tahun lalu sebelum aku datang itu apa?"

"Kamu yang buat saya terbiasa." Dia melirik arloji sebentar. Meski tidak melihat jam, aku tahu bahwa sekarang masih belum jam 12 tepat. Tuan Althaf bermalas-malasan tidur di ranjang. Tidak ingin sendiri, dia ikut menarik bahuku agar berbaring di lengannya. "Saya baru malam ini, merasakan posisi kamu. Tapi, kamu tenang saja. Saya pastikan, segera mungkin, kamu tidak akan merasakan ini lagi."

"Kapan?"

"Segera."

Aku diam sebentar. "Segeranya kapan?"

Giliran Tuan Althaf yang diam beberapa saat. "Saya tidak tahu."

Aku mendengkus ringan, supaya tidak dia sadari.

"Tapi, saya punya tips buat kamu, supaya bisa dapat restu Mama."

Cukup menarik. "Apa?"

***

Pertama, harus menjalin hubungan baik dengan Nyonya Erisha. Meminimalkan protesnya padaku. Sejauh ini, aku pikir sudah melakukannya. Kecuali, ya saat Tuan Althaf membawaku kabur ketika hari minggu, dan kala aku menuangkan sup di atas meja. Sepertinya demikian.

Namun, Tuan Althaf mengharapkan aku lebih dekat lagi dengan Nyonya Erisha.

Maka, aku mencoba pagi ini. Semua keluarga Pak Ahyar sedang sarapan pagi. Pun kami para pelayan, tetapi aku mempercepat acara makan. Teh hijau kesukaan Nyonya Erisha aku seduh dalam cangkir favoritnya. Seperti biasa sebenarnya, tetapi kali ini aku membuat sebelum mendapat perintah.

Tepat setelah air panas dituangkan dalam mug, acara sarapan keluarga besar tersebut berangsur selesai.

Aku membawakan teh ke ruang keluarga. Nyonya Erisha belum ada di sini, tetapi aku langsung saja meletakkan cangkir di atas meja. Tidak sampai sepuluh menit, pikirku, Nyonya Erisha akan ke sini.

Benar saja. Saat aku kembali ke ruang tengah, Nyonya Erisha pun berniat ke ruang keluarga setelah memastikan semua anggota keluarganya berangkat.

"Nyonya, tehnya sudah saya siapkan di ruang keluarga," ucapku saat berpapasan dengan Nyonya Erisha. Senyuman semanis mungkin-meski kepala menunduk, aku berikan padanya.

"Hm. Terima kasih."

Lalu dia berlalu.

Sesederhana ini. Aku merasa ... nyaman? Karena kata-kata Tuan Althaf semalam.

Midnight WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang