Sebuah cangkir tersodor di hadapanku. Tampak masih mengepulkan asap tebal. Disusul suara derit kursi. Aku mengangkat pandangan pada Mbak Rista yang baru saja membuatkan teh untukku.
"Makasih, Mbak." Aku menggerakkan jemariku di pinggiran cangkir, menunggu dingin sedikit.
Hela napasku panjang setiap kali mengingat kejadian satu jam lalu.
Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Lebih dari kebencianku pada Tuan Althaf, aku lebih merutuk diri sendiri.
Kenapa begitu bodoh? Seharusnya, sejak datang ke rumah ini, dan mengetahui Tuan Althaf mengakuiku sebagai pengasuh, aku langsung meminta cerai padanya. Mataku dibutakan oleh pria itu.
Janji-janjinya yang ingin menolak Nona Selvy hanya omong kosong. Seharusnya, aku langsung menyerah saja setelah melihat Tuan Althaf dan Nona Selvy sering memamerkan kemesraan mereka.
Seharusnya ... seharusnya ....
Astagfirullah.
Kepalaku mulai sakit memikirkan kebodohan tersebut, dan aku sebaiknya tidak mengulangi lagi.
"Via, kamu kenapa? Kamu bisa cerita sama Mbak."
Mbak Rista menyentuh tanganku yang berada di atas meja. Gerakan jemariku di cangkir terhenti, lalu terlipat di atas meja.
"Nggak papa kok, Mbak. Cuman ... aku kepikiran Ayah. Beliau sakit saat aku tinggalin sendiri." Napasku berembus lelah.
"Jadi ...? Kamu mau ambil cuti buat jaga Ayah kamu?"
Aku menggeleng, lalu memandang wajah teduh Mbak Rista.
"Sebelum saya di sini, Nona Chayra siapa yang urus, Mbak?"
"Dia kan anaknya mandiri. Ya paling, ditemenin main aja pas sore. Itu aja. Dia nggak pernah diasuh khusus kayak kamu sebelumnya." Mbak Rista menatapku serius. "Kalau kamu mau cuti beberapa hari, aku bisa bantu bilangin ke Nyonya Erisha. Gimana?"
"Nggak perlu, Mbak."
Seharusnya aku mengambil jalan ini sejak dulu.
"Aku berhenti aja, ya? Mbak bisa urus Nona Chayra, kan?"
"B-bisa, tapi ... serius kamu mau berhenti? Susah loh nemu pekerjaan kayak kerjaan kamu sekarang ini."
"Iya, Mbak. Ayah punya kebun di kampung. Aku bisa urus sama Ayah. Di sana, aku nggak perlu kena tambahan beban khawatirin Ayah. Aku juga bisa tenang kalau tinggal di sana."
"Okey. Aku ngerti. Semoga kamu nggak nyesel abis ini."
"Nggak, Mbak."
Cangkir aku angkat, menyesapnya hati-hati. Sesekali meniupnya.
"Kamu nggak ada masalah di sini, kan, Via?"
"M?" Aku menurunkan cangkir. Melap bibir sebentar. "Masalah?"
"Sama siapa, mungkin? Tuan Althaf? Tuan Alfan? Nyonya?"
"Nggak ada kok, Mbak."
"Kalau ada masalah, kamu bisa cerita-"
"Rista!" Seruan itu memotong ucapan Mbak Rista. Kami berdua sama-sama menoleh ke arah pintu ruang makan. Tuan Althaf yang muncul. Aku segera merunduk, memandangi teh.
"Iya, Tuan?"
"Chayra ingin minum jus jeruk. Bisa berikan ke Chayra sekarang? Via katanya tidak enak badan?"
Situasiku memburuk saat pria itu malah berdiri di sampingku.
"Baik, Tuan." Mbak Rista berdiri, masuk ke dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Wife
Romance18+ | ROMANSA || BACA ULANG 𝐃𝐢𝐤𝐞𝐣𝐚𝐫 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐬𝐢 𝐓𝐮𝐚𝐧 𝐀𝐫𝐨𝐠𝐚𝐧 𝐡𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐤𝐞 𝐤𝐚𝐦𝐩𝐮𝐧𝐠 𝐡𝐚𝐥𝐚𝐦𝐚𝐧, 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐤𝐞𝐦𝐮𝐝𝐢𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡𝐢. 𝐕𝐢𝐚 𝐦𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐤𝐡𝐢𝐫 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐩𝐞𝐧𝐠𝐚𝐬𝐮𝐡 𝐚𝐧𝐚𝐤...