Chapter 9

12.3K 1K 32
                                    

"Tante! Tante Via!"

Aku mengerjap beberapa kali. Nona Chayra muncul di hadapan, dalam keadaan sayu. Baru terbangun dari tidur siangnya. Dan aku tidak sengaja ikut tertidur juga tadi.

"Kenapa?" Aku langsung bangun, terkejut. Jilbab aku perbaiki sebentar.

"Besok Chayra ada lomba masak. Ajarin Chayra masak, ya? Plis. Plis."

"Ayo." Meski masih mengantuk, aku memaksakan diri untuk turun dari ranjang. Menggenggam tangan Chayra menuju dapur.

"Masak nasi goreng, Tante! Masak nasi goreng yang kayak punyanya Tante! I love it so much." Dia berteriak setelah sampai di dapur.

"Memang nggak bosan?"

"Enggak." Nona Chayra menunjukkan sepuluh jarinya. "Seandainya semua ini jempol, Chayra bakalan kasih semua buat nasi gorengnya Tante Via."

Aku terkekeh ringan. Semua semangat terasa langsung berkumpul. Kepalanya aku usap beberapa kali. Lalu mengambil dua buah celemek untukku dan Nona Chayra. Sebuah kursi juga aku berikan, supaya dia bisa mencapai tempat memasak.

"Biar Chayra yang potong bawang sama sayurannya, Tante diem aja liatin Chayra. Bilang kalau salah, OK?"

Maka aku mundur tiga langkah, memberikan dia ruang untuk berkreasi.

"Sayurannya iris tipis-tipis, Nona."

"Siap, Chef." Nona Chayra menyempatkan diri memberikan hormat tanpa menoleh. Lidahnya sampai keluar karena terlalu fokus mengiris hati-hati. Aku tidak bisa berhenti tersenyum melihatnya.

Hanya beberapa menit. Aku kemudian panik saat Nona Chayra berteriak. Tangannya meletakkan pisau dan separuh bawang di talenan.

"Tante! Tante! Mata Chayra perih, Tante!" Dia semakin kalang-kabut. Aku segera menahan tubuhnya yang hampir jatuh dari kursi.

"Nona Chayra tenang. Tenang, Oke? Nggak papa." Aku menggendongnya, bingung harus melakukan apa.

"Tante, perih." Aku membiarkan dia memukul-mukul punggungku.

"Kenapa, Via?" Tuan Alfan muncul. Gitar dan jaketnya dibuang sembarang tempat. Nona Chayra diambilnya. Lalu dibawa keluar. Aku mengekor saja, sembari membawa gitar dan jaket Tuan Alfan. Sepertinya, dia akan keluar.

Ah, ya, besok dia akan tampil.

Saat menghampiri keduanya di ruang tengah, Nona Chayra sudah tidak sehisteris tadi. Dia sudah tenang duduk di sofa.

"Iya, nangis aja. Supaya perihnya ilang." Sifat dewasa terlihat jelas dari Tuan Alfan saat berbicara lembut dengan Nona Chayra. Tangannya yang hampir semulus milik wanita mengusap lembut pipi tembam Nona Chayra.

"Ini, Tuan." Aku memberikan barangnya. Tuan Alfan berdiri sambil menyunggingkan senyum-yang entah aku harus mengutuk atau memuji-mirip Tuan Althaf.

Tuan Alfan lalu berdiri, jadi aku mengangguk untuk menghormatinya sebagai majikan.

"Terima kasih." Dia mengambil gitar dan jaketnya. Namun, tindakan selanjutnya dari Tuan Alfan membuatku terkejut. Hanya berselang beberapa detik saat dia mengusap kepalaku yang dibalut jilbab, lalu turun agak ke bawah, dekat leher. Aku langsung mendongak. Tidak bisa mencegah atau membatalkan perbuatannya, aku hanya bisa memandangi punggung Tuan Alfan yang menjauh.

Jejak bukti perbuatan kurang ajarnya masih tersisa. Yaitu jantungku yang masih berdetak keras.

***

"Via, setelah bersihkan meja ini, kamu langsung ke kamar Chayra, ya? Besok dia harus bangun pagi-pagi, ada acara di sekolahnya. Jadi ... malam ini harus tidur lebih awal."

Midnight WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang