"Tidak bisa, Via." Tuan Althaf mencegahku melepaskan cincin. Dia menatapku dalam, dan untuk ke sekian kalinya, aku buta menjawab rahasia di balik matanya itu. "Kita tidak bisa bercerai sekarang. Kamu sedang hamil."
"B-bagaimana mungkin?" Aku tergagap. "Aku selalu minum setiap malam, kecuali ... kemarin."
"Kemungkinan berhasilnya cuman 99%, kamu masih punya peluang 1%."
"Tapi ...." Kepalaku bertambah sakit, membayangkan harus tetap tinggal di rumah Tuan Althaf sampai bayi ini lahir. "Bagaimana kalau keluarga kamu tahu?"
Tuan Althaf diam. Untuk beberapa detik, kami saling bungkam. Tuan Althaf berbalik cepat saat menyadari kenop pintu terdengar. Dia cepat memakai maskernya, dan menghampiri Mbak Rista yang baru saja masuk.
Mereka keluar meninggalkanku sendiri, karena Mbak Rista bertanya mengenai keadaanku.
***
Mangkuk berisi sup aku letakkan di tengah-tengah meja makan. Nona Chayra datang paling cepat untuk makan malam. Disusul Tuan Althaf bersama Nona Selvy, dan keluarganya yang lain.
Melihat pria itu, aku teringat lagi mengenai keadaanku sekarang ini. Sangat menyedihkan. Saat sedang hamil anaknya, dia malah sibuk merencanakan pernikahannya dengan wanita lain.
Omong-omong masalah hamil, aku tidak sepenuhnya percaya pada Tuan Althaf. Selama setengah hari di rumah sakit, aku tidak pernah bertemu dokter asli. Bertanya pada Mbak Rista pun aku segan.
Bukankah hamil banyak tanda-tandanya? Pingsan hanya salah satu, dan tidak sepenuhnya adalah tanda kehamilan.
"Tante Via, Chayra mau sup." Nona Chayra memekik, mengalihkan lamunanku sebentar.
Mangkuk yang baru kubawa tadi, diangkat, untuk diberikan pada Nona Chayra.
Aku semakin gelisah karena sampai malam tiba, belum ada tanda seperti mual. Itu tanda paling umum bagi wanita hamil. Kenapa belum aku rasakan?
Meski kecewa tidak bisa cerai dari Tuan Althaf, tetapi aku merasa menemukan sebuah harapan bahwa secepatnya dia bisa mengakuiku sebagai istri.
"Tante Via!"
Lagi, aku tersentak karena teriakan Nona Chayra yang berkali-kali lipat lebih nyaring dari sebelumnya.
"Astaga." Mangkok dan sendok segera aku letakkan di atas meja. Terlalu lama melamun, aku salah menuangkan sup ke meja, bukan di piring Nona Chayra. Dalam keadaan panik, aku memindahkan Nona Chayra agar tidak basah. Lap dari dapur aku ambil untuk membersihkan semua kekacauan ini.
"Aduh, Via! Apa yang kamu lakukan?"
Astaga, Nyonya Erisha sudah masuk.
"M-maaf, Nyonya. Saya tidak sengaja." Kepala aku tundukkan begitu dalam saat dia berdiri di depanku beberapa saat.
"Dasar tidak becus."
Aku menengadah perlahan. Nyonya Erisha sudah keluar dari ruang makan. Setelah semuanya bersih, aku menegakkan tubuh lagi. Bersiap kembali ke dapur. Namun sebelum memutar badan, aku berbagi pandangan dengan Tuan Althaf sebentar. Dia sama sekali tidak melirikku walau hanya sebentar.
Seharusnya aku tidak berharap dia akan membantuku yang dihina ibunya, karena dia terlalu takut melawan Nyonya Erisha.
***
Tiga sendok nasi, dan sedikit sayur begitu lama aku habiskan. Kegiatan makan malam di dapur bersama pembantu lainnya ini, aku lebih banyak habiskan dengan melamun.
"Via." Mbak Rista memanggil lembut, tetapi berhasil membuatku tersentak.
"Ah, ya, Mbak?" Aku gugup ditatap aneh oleh orang-orang di sini. Acara makan aku lanjutkan dengan tergesa-gesa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Wife
Romance18+ | ROMANSA || BACA ULANG 𝐃𝐢𝐤𝐞𝐣𝐚𝐫 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐬𝐢 𝐓𝐮𝐚𝐧 𝐀𝐫𝐨𝐠𝐚𝐧 𝐡𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐤𝐞 𝐤𝐚𝐦𝐩𝐮𝐧𝐠 𝐡𝐚𝐥𝐚𝐦𝐚𝐧, 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐤𝐞𝐦𝐮𝐝𝐢𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡𝐢. 𝐕𝐢𝐚 𝐦𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐤𝐡𝐢𝐫 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐩𝐞𝐧𝐠𝐚𝐬𝐮𝐡 𝐚𝐧𝐚𝐤...