Chapt. 24| Selamat jalan

2.7K 152 9
                                    

Hari ini weekend, jadi Alana datang ke ruangan Naufal pagi-pagi. Awalnya Alana hendak mengajak sang nenek, namun neneknya tidak mau, terlalu tua buat naik lift katanya. Tidak masuk akal memang, namun ya sudah lah.

Alana menarik knop pintu, lalu membukanya. Saat Alana masuk, di dalam ada Anya, Ricko, juga johan. Oh, jangan lupakan Maura yang tertidur di sofa. Entah apa yang mereka bicarakan sebelumnya.

"Selamat pagi om, tante. Alana ganggu ya?" Alana tersenyum canggung.

"Oh, engga Al, Naufal nyariin kamu daritadi." Anya bangkit, kemudian menarik Alana dan menempatkannya tepat di samping Naufal. Hingga tanpa sengaja menyenggol lengan johan, membuat johan melangkah sedikit menjauh.

Alana tapi masih heran, kenapa Naufal tidak menghadapnya sama sekali. Dia terus memandang ke arah Maura yang sedang tertidur lelap.

"Pikirkan baik-baik tawaran ayah Fal." Itu kalimat terakhir yang Johan ucapkan, sebelum keluar dari ruangan Naufal.

"Udah ada Alana kan, Mama sama Papa pulang dulu ya, kasian Maura kecapean. Mama titip Naufal ya Al, jangan macem-macem lho kalian." Alana sungguh salut dengan Anya, perempuan itu tetap terlihat tegar dan selalu menampilkan senyum manisnya di depan semua orang. Mungkin kecuali Ricko, sang suami.

Alana tersenyum tulus, juga malu-malu. Memang apa yang akan mereka lakukan?
Anya keluar pertama, diikuti Ricko yang menggendong Maura.

"Kak.." Alana memanggil Naufal karena sedari tadi, Naufal tak sekalipun memalingkan pandangannya.

"Ada masalah?" Alana bertanya lagi. Hingga akhirnya Naufal menoleh. Alana sedih, wajah Naufal semakin pucat, dan sering mengeluh sakit kepala juga susah bernafas. Tapi belum juga menemukan pendonor.

"Ayah nawarin diri buat jadi pendonor aku, menurut kamu gimana?" Naufal terlihat frustasi.

Alana tahu perasaan Naufal, walaupun terlihat membenci ayahnya, anak mana yang akan rela melihat ayah kandungnya menyerahkan organ terpenting dalam tubuhnya untuk kelangsungan hidup Naufal.

"Kalo kakak nggak mau ayah kakak donorin jantungnya buat kakak, yaudah kakak ngomong sama ayah kakak." Begitu ujar Alana

"Kamu tau kan hubungan aku sama ayah gimana."

"Yaudah nggak usah, nanti juga mama bakal ngomong pasti. Kakak jangan mikirin apa-apa dulu. Nggak baik buat kesehatan kakak." Alana berkata lembut.

Naufal mengangguk, lalu menggenggam tangan Alana saat Alana hendak duduk.

"Kamu yang sabar ya, pasti aku bakal cepet dapet pendonor." Ujar Naufal sambil menatap Alana lembut.

"Haha, harusnya aku yang ngomong gitu sama kakak. Kenapa malah kebalik" Alana tertawa renyah. Sungguh Naufal ingin menghentikan waktu saat ini, karena ia tak tahu apa yang akan terjadi kedepannya, bisa saja dia tak selamat.

Mereka tertawa, tapi hanya sesaat, sebelum menekan dadanya, kemudian suara panik Alana terdengar. Penglihatan Naufal buram, dia kambuh. Sulit bernafas padahal alat bantu pernapasan nya masih terpasang. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba.

"Dokter.. dokter.." Alana terus memanggil dokter, sambil terus menekan bel di atas ranjang agar suster mendengar.

Tak lama, dokter datang, Alana sudah di banjiri dengan air mata. Dia tidak pernah mengira, akan secepat ini. Apa yang terjadi? Alana seperti kehilangan separuh kesadarannya. Barusan, mereka berdua tertawa bersama, kenapa satu detik setelahnya Naufal harus kambuh? Alana tak mengerti lagi

Alana tetap di dalam ruangan, hingga dokter menghampiri dengan panik, dan berkata

"Kita harus secepatnya menemukan pendonor."

ALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang